ARTI PENTING MANAJEMEN PENDIDIKAN ~(Fungsi-fungsi Manajemen Pendidikan)~
Baca Selengkapnya ....
kesuksesan bukan dilihat dari hasil akhir, tapi diidentifikasi berdasarkan proses perjuangannya
Setiap orang mukmin pasti bergetar hatinya ketika gemuruh takbir berkumandang di hari kemenangan. Bagi umat Islam, Idul Fitri adalah hari yang sangat dinanti. Setelah sebulan berperang melawan hawa nafsu dan ego pribadi.
Bagiku, Idul fitri begitu banyak menyimpan kesan. Tak hanya hari kemenangan atau penyucian, tetapi juga sebuah kenangan tak terlupakan. Betapa tidak, Tuhan yang begitu bijak, telah menganugerahiku sebuah cinta di hari yang fitri. Tetapi Tuhan yang masih begitu bijak, telah mengambil cinta itu, pun di hari yang fitri. Hingga pada Idul Fitri kali ini, aku masih setia dan merasa nyaman berlama-lama di Taman Pemakaman Umum yang letaknya hanya kurang lebih lima ratus meter dari rumahku.
“Sudahlah, Nak. Pulanglah dulu, kakak dan adik-adikmu telah menunggu!”
“Nanti dulu Bu, aku masih ingin menemani suamiku. Lagi pula aku sudah bersalaman dan meminta maaf sama kakak dan adik-adik tadi”.
“Tapi sudah dua jam kamu di sini Mirna. Pulanglah, semua mengkhawatirkanmu!” ujar Ibu lembut.
“Ibu pulang saja dulu, sebentar lagi aku juga menyusul!” ucapku dengan menahan air mata.
“Baiklah Mirna, kami semua menunggumu di rumah”, tutur Ibu sebelum pergi dan membiarkan aku tetap duduk di makam suamiku.
Setahun yang lalu, tepat di hari Idul fitri, suamiku meninggal. Kondisinya saat itu sangat sehat. Bahkan kami masih sempat berkeliling ke rumah tetangga dan saudara dekat. Tapi setelah sholat Ashar, saat aku dan suamiku berniat bersilaturrohim ke rumah adik bungsuku di kampung sebelah, tiba-tiba suamiku merasa sangat lemah. Ia merebahkan diri di kamar dan menunda kepergian kami. Aku yang saat itu tengah bersiap-siap, akhirnya menuruti kata suamiku untuk menunda niat kami bersilaturrohim ke tempat adikku. Saat itu tiba-tiba suamiku menanggalkan pakaiannya dan memintaku menyelimutinya dengan selimut pemberian ibu mertuaku.
Selimut itu sudah lama tak pernah kami pakai. Bahkan untuk mengeluarkannya dari almari pun, suamiku melarangnya. Entah kenapa tiba-tiba saat itu suamiku sangat ingin aku menyelimutinya dengan selimut itu. Setelah sekian lama ia menyuruhku untuk menyimpan selimut hangat berwarna biru itu dengan rapi di almari.
“Aku sangat ingin merasakan hangatnya selimut dari ibu” tutur suamiku setengah berbisik. Tanpa banyak tanya lagi, aku pun segera menuruti keinginannya.
Disela-sela kupasangkan selimut itu, tiba-tiba suamiku tersenyum penuh haru. Ia menatapku pilu, serasa ada kata yang ingin ia ucapkan. Wajahnya terlihat begitu damai, jernih dan sayu. Ia tak pernah berhenti menatapku dalam-dalam, bahkan tak mau kutinggal meski sebentar. Dipegangnya jemariku erat-erat, hingga tak kuasa aku melepaskannya. Kulihat senyum manis tersungging di bibirnya. Persis seperti senyumannya saat kali pertama kami berjumpa.
“Maafkan aku Mirna, aku tak pernah bisa membuatmu bahagia. Aku tak bisa membelikanmu gaun yang indah, rumah yang megah, perhiasan yang mewah menawan” ucap suamiku lirih seraya meneteskan air mata. Tak pernah kulihat ia menangis penuh rasa sesal seperti sekarang.
“Aku sudah sangat bahagia hidup denganmu selama ini Mas!” jawabku dengan tulus.
“Kau masih sangat cantik Mirna, jaga diri baik-baik sayang!” ujarnya lembut. Aku tersentak mendengar ucapannya itu. Kalimat itu terasa begitu aneh bagiku.
Kugenggam erat tangan suamiku. Jemarinya begitu dingin. Kupegang keningnya, pipinya, telinganya, kakinya, semuanya dingin, sangat dingin. Wajahnya pucat pasi dan tiba-tiba tubuhnya menggigil. Tangannya menggenggam jemariku erat, dan semakin erat. Suamiku terlihat kesulitan bernafas, ia kejang-kejang hingga aku tak tega melihatnya. Kucoba menawarinya minum, tapi tak ada reaksi. Ia tetap menggenggam jemariku erat, sementara nafasnya semakin terlihat sulit. Ia semakin kejang.
Aku panik melihat suamiku menggelepar kejang. Aku tak mampu berbuat apapun, kecuali memegangnya erat-erat. Dengan nafas yang tersengal-sengal, ia berbisik, “Aku mencintaimu Mirna”. Badannya semakin dingin dan sesaat kemudian ia mengucap kalimat takbir, “Allahu Akbar”, sebelum ia menghembuskan nafas terakhir dan menutup matanya. Aku tak kuasa menahan tangis. Kucoba membangunkannya berkali-kali. “Mas Lutfi!!” teriakku pilu. Tapi ia tak bereaksi.
Jasad suamiku terbujur kaku. Seketika itu tubuhku lemas dan lunglai. Angin seakan berhenti bertiup. Suasana rumahku lengang meski banyak orang yang datang, ikut belasungkawa. Aku tak menghiraukan lagi siapa yang datang. Aku hanya tersungkur di sebelah jasad Mas Lutfi. Ranjang kami basah oleh air mataku yang tak bisa berhenti mengalir. Dinding kamar yang berwarna putih kusam itu pun serasa ikut tertunduk sedih. Sepoi angin yang biasanya masuk melalui jendela kecil di sudut kamar, saat itu seakan tertahan, enggan berhembus. Hatiku begitu sakit dan pilu. Rasanya aku tak mampu lagi menjalani kehidupanku.
“Kamu harus kuat, Nak. Ibu selalu ada di sampingmu, bersamamu” ucap ibu lirih seraya memelukku erat. Sepertinya ibu memahami apa yang kurasa, karena ibu juga sudah mengalami sakitnya ditinggal ayah. Tapi aku tahu, ibu sangat tak tega padaku, karena usia pernikahanku saat itu sangat singkat. Begitu cepat suamiku pergi menghadap Tuhan. Idul Fitri menjadi hari kesedihanku, kerapuhanku, hari berkabung ku. Suamiku dipanggil Tuhan saat usia pernikahan kami masih sangat dini.
Dua tahun sebelumnya, Idul Fitri adalah hari bahagia bagiku. Di hari yang suci itu, laki-laki yang begitu sholih, taat ibadah dan mapan secara materi telah meminangku. Perkenalan kami sangat singkat memang, tapi entah kenapa aku begitu yakin bahwa ia mampu menjadi imamku kelak.
Zainal Lutfi, pria yang kukenal lewat acara peringatan Nishfu Sya’ban di masjid itu telah memikat hatiku. Dia pria yang sederhana, wajahnya manis dan penuh kedamaian. Kulitnya sawo matang, tak begitu tinggi juga tak terlalu kurus. Hatinya sangat baik dan bijaksana. Ia sangat menghormati wanita, meskipun banyak para wanita yang menggodanya lantaran kemapanannya dalam finansial. Ia satu-satunya pemuda di kampung kami yang berhasil memiliki usaha tekstil dengan jumlah karyawan yang cukup banyak. Orang tuanya pengasuh salah satu pondok pesantren yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Sosok pria yang menjadi pujaan dan impian wanita.
Dua bulan kami bersahabat, aku pun tak mampu menepis kekagumanku padanya. Tiba-tiba tanpa kuduga sebelumnya, ia meminangku tepat ba’da Ashar di Idul Fitri. Mas Lutfi, begitu panggilan akrabku padanya, menungguku di beranda masjid selepas jamaah sholat Ashar. Wajahnya begitu syahdu penuh damai, senyumnya sangat manis. Dadaku berdebar kencang setiap kali aku melihat senyum manisnya.
“Mohon maaf lahir batin, Mirna. Taqobbal Allah minna waminkum!”
“Amin. Mohon maaf lahir dan batin juga, Mas Lutfi!”
“Aku ingin lebih memaknai Idul Fitri ini, Mirna. Aku akan membuat Idul Fitri ini semakin fitri, dengan meminta kesediaanmu menemani perjalanan hidupku. Bersedialah jadi teman hidupku, teman sejatiku menggapai Idul Fitri-Idul Fitri yang berikutnya. Kalau kau bersedia, nanti malam orang tuaku akan ke rumahmu. Menikahlah denganku. Dengan penuh harap, di hari yang fitri ini, kupinang kau Mirna” ucapnya mantap. Aku terharu, bahagia dan tak dapat berkata-kata. Sepertinya aku satu-satunya wanita yang paling bahagia di hari yang fitri. Tuhan memberiku cinta, seorang pria yang ku damba.
“Jangan terlalu lama di makam ini, Mirna! Di rumahmu banyak orang yang bersilaturrohim!”. Aku terkejut mendengar suara itu. Suara lembut ibu mertuaku.
“Aku tak tahu lagi harus seperti apa memaknai Idul Fitri ini, Bu! Tuhan menganugerahiku cinta di hari yang fitri. Tuhan mengirimku Mas Lutfi di hari yang fitri, tapi Tuhan juga telah mengambil cintaku di hari yang fitri!” ratapku pilu.
*************
Satu-satunya cara untuk membangkitkan semangat ibadah di bulan penuh berkah ini adalah dengan menanamkan keyakinan, bahwa bulan Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita!” tutur Aisyah padaku, sesaat sebelum aku bergegas meninggalkan musholla. Kalimat itu ia ucapkan padaku karena aku lebih memilih pergi bersama teman-teman sepermainanku, ketimbang mengikuti ajakan Aisyah untuk tadarus di musholla. Aku tetap tak menghiraukan perkataan Aisyah.
Kebiasaan yang tak pernah bisa aku ubah di setiap malam Minggu adalah pergi bersama teman-teman, nongkrong di pinggir jalan, menghabiskan malam Minggu. Sebenarnya kegiatan malam Mingguku itu tak bermanfaat. Hanya saja, aku pikir itu lebih baik daripada aku hanya berdiam diri di rumah. Setiap tubuh membutuhkan kesenangan, ketenangan. Dan bagiku, dengan nongkrong dan jalan-jalan seperti itu aku sudah mendapatkan kesenangan, bahkan ketenangan.
“Iya, tapi hanya kesenangan dan ketenangan sesaat!” protes Aisyah setiap kali aku menjelaskan perihal kebiasaan malam Mingguku yang tak bisa kutinggal, meski di bulan Ramadhan. Aisyah selalu mengingatkanku untuk mengurangi kebiasaan keluar malam dan pulang pagi di malam Minggu. Terlebih di bulan Ramadhan. Sebenarnya, meskipun bukan bulan Ramadhan, Aisyah juga sudah sangat sering menasihatiku agar membuang kebiasaan buruk itu, apalagi aku perempuan. Ya, satu-satunya perempuan di antara teman-teman nongkrongku tiap malam Minggu.
“Kau tak perlu khawatir, aku pasti bisa jaga diri! Teman-temanku itu menghargai perempuan!” ujarku pada Aisyah.
“Terserahlah. Tapi setidaknya, di bulan Ramadhan ini kau bisa mengurangi kebiasaan buruk itu. Mumpung ini bulan suci, bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Siapa yang bisa menjamin kalau kita masih hidup di Ramadhan tahun depan? Bisa jadi, ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita!’ tutur Aisyah.
“Ramadhan tahun lalu aku sudah banyak beribadah, berdoa dan meminta pada Tuhan. Tapi sampai sekarang aku tak pernah merasa Tuhan mengabulkan doaku. Jadi, aku rasa biasa-biasa sajalah! Bulan Ramadhan atau bukan, sama saja!”
“Huss, jangan ngawur kamu, ucapanmu itu sudah keterlaluan! Ingat Lila, tidak ada satu manusia pun yang tahu, berapa lama ia akan hidup di dunia ini. Beribadah itu harus tulus, tak perlu mengharap imbalan atau balasan dari Tuhan. Bukankah sudah kewajiban kita untuk mengabdikan diri pada Yang Maha Kaya, Sang pemilik alam, pemilik kita. Sebelum Dia mengambil kita untuk kembali pada Nya!?!”
“Tapi aku merasa sama saja. Aku rajin beribadah atau tidak, aku banyak berdo’a atau tidak, hidupku tetap sama saja, begini-begini saja. Kau lihat Pak Broto dan keluarganya itu, mereka tak pernah beribadah. Jangankan ibadah di bulan Ramadhan, sholat sehari-hari saja mereka tak pernah. Tapi mereka bisa kaya, sangat kaya bahkan!” tegasku sebelum meninggalkan Aisyah.
Aisyah menggelengkan kepala. Menghela nafas panjang seraya melanjutkan menata buku di rak, sesuai klasifikasinya. Aisyah dan aku memiliki sebuah toko buku yang sudah setahun kami rintis. Tidak terlalu besar memang. Tapi hasil yang kami dapat, cukup buat bertahan hidup. Setiap hari kami bergantian menjaga toko buku itu. Karena letaknya tak jauh dari rumahku dan rumah Aisyah, jadi kami bisa dengan gampang mengelola dan memantaunya. Niat awal Aisyah sebenarnya hanya mendirikan persewaan komik dan karya sastra. Tapi aku memberanikan diri untuk menambahkannya dengan menjual buku, selain juga menyewakan komik dan karya sastra.
Bermodalkan koleksi komik dan karya sastra Aisyah yang jumlahnya cukup banyak, ditambah dengan tabunganku yang tak seberapa, kami berdua pun membuka toko buku sekaligus rental komik dan karya sastra. Penghasilan yang kami dapat memang tidak banyak. Hal itulah yang membuatku iri dengan tetanggaku, Pak Broto. Ia juga memiliki beberapa toko dan rental PS yang penghasilannya besar. Rentalnya selalu ramai dengan anak-anak. Itulah yang membuat aku dan sahabatku Aisyah tak habis pikir. Generasi muda kita lebih tertarik bermain PS, video game daripada membaca buku.
Aku juga sering merasa Tuhan tidak adil. Pak Broto yang tidak pernah ibadah, berdoa atau mengenal Tuhan saja bisa sukses dan kaya raya. Sementara aku yang selalu mencoba meningkatkan ibadah seperti yang disarankan sahabatku Aisyah, tetap saja aku tak bisa seperti Pak Broto.
Aisyah selalu menyuruhku beristighfar setiap kali aku membahas Pak Broto yang bisa hidup sukses, enak, kaya raya tanpa harus beribadah.
@@@@@
Seperti malam Minggu biasanya, malam Minggu ini aku pergi bersama teman-teman. Roy, Bagas dan Andhika menyusulku di toko buku. Mereka rela menungguku yang masih menjaga toko buku karena Aisyah belum juga datang menggantikan aku. Setengah jam berselang, Aisyah muncul dan aku pun bergegas pergi bersama Roy, Bagas dan Andhika. Kami mengendarai motor masing-masing menuju alun-alun, tempat tongkrongan pertama kami sebelum berkumpul bersama para pengamen di Jalan Mpu Prapanca. Jalan itulah yang menjadi tempat favorit para pemuda di kota kami setiap menghabiskan malam panjang.
Di tengah perjalanan menuju alun-alun, tiba-tiba sebuah mobil box melaju sangat kencang di depanku. Demi menghindari mobil box itu, aku pun membawa motorku ke bahu jalan,meliuk-liuk bagai pembalap ulung yang beradu di arena balap. Karena melihat ketiga temanku yang sudah jauh di depan, aku menambah kecepatan motor hingga akhirnya aku bisa mendahului mereka. Tapi di pertigaan Jalan Mpu Prapanca, aku membelokkan motor ke arah kiri dengan kecepatan tinggi. Tanpa kusadari, di depan juga ada mobil pick up yang melaju sangat kencang. Aku kehilangan kendali, tak mampu lagi mengurangi kecepatan motorku. Aku semakin gagap dan tak bisa menghindari mobil pick up itu lagi. Kucoba untuk nge-rem, tapi terlambat. Mobil itu sudah menyentuh ujung motorku, saling berbenturan dan menghasilkan bunyi keras yang dahsyat. Aku terlempar ke trotoar, kepalaku terbentur batuan trotoar. Banyak darah segar mengalir dari kepalaku bagian belakang, hidung dan telinga. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Perlahan ku coba membuka mata meski terasa sangat berat. Sekelilingku terlihat berwarna putih semua, dua orang berusaha menenangkanku setelah aku sadar bahwa aku sudah di Rumah Sakit. Kepalaku sangat sakit, rasanya aku tak mampu bertahan. Tubuhku begitu lemah, tak bisa bergerak sedikit pun. Tiba-tiba nafasku tersengal-sengal, sulit bagiku untuk bernafas. Inikah akhir hidupku? Tuhan, seandainya aku mengikuti kata-kata Aisyah, seandainya kemarin-kemarin aku bisa meyakinkan diri bahwa ini Ramadhan terakhirku. Seketika itu ingatanku hanya tertuju pada Tuhan. Aku sungguh menyesal. Tak kusangka, Tuhan menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terakhir bagiku.
Aku semakin sulit bernafas. Tiba-tiba kudengar lirih suara Aisyah menuntunku mengucap; “Laailaha illAllah....” sebelum nafasku lepas dan mataku tertutup selamanya.
***********