selamat berkunjung di lautan hati,
tempat berbagi, menyelami, memberi
...
just have fun.



RAMADHAN TERAKHIR

Posted by Lautan Hati Oela Saturday 11 August 2012 0 comments

 

Satu-satunya cara untuk membangkitkan semangat ibadah di bulan penuh berkah ini adalah dengan menanamkan keyakinan, bahwa bulan Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita!” tutur Aisyah padaku, sesaat sebelum aku bergegas meninggalkan musholla. Kalimat itu ia ucapkan padaku karena aku lebih memilih pergi bersama teman-teman sepermainanku, ketimbang mengikuti ajakan Aisyah untuk tadarus di musholla. Aku tetap tak menghiraukan perkataan Aisyah.

Kebiasaan yang tak pernah bisa aku ubah di setiap malam Minggu adalah pergi bersama teman-teman, nongkrong di pinggir jalan, menghabiskan malam Minggu. Sebenarnya kegiatan malam Mingguku itu tak bermanfaat. Hanya saja, aku pikir itu lebih baik daripada aku hanya berdiam diri di rumah. Setiap tubuh membutuhkan kesenangan, ketenangan. Dan bagiku, dengan nongkrong dan jalan-jalan seperti itu aku sudah mendapatkan kesenangan, bahkan ketenangan.

“Iya, tapi hanya kesenangan dan ketenangan sesaat!” protes Aisyah setiap kali aku menjelaskan perihal kebiasaan malam Mingguku yang tak bisa kutinggal, meski di bulan Ramadhan. Aisyah selalu mengingatkanku untuk mengurangi kebiasaan keluar malam dan pulang pagi di malam Minggu. Terlebih di bulan Ramadhan. Sebenarnya, meskipun bukan bulan Ramadhan, Aisyah juga sudah sangat sering menasihatiku agar membuang kebiasaan buruk itu, apalagi aku perempuan. Ya, satu-satunya perempuan di antara teman-teman nongkrongku tiap malam Minggu.

“Kau tak perlu khawatir, aku pasti bisa jaga diri! Teman-temanku itu menghargai perempuan!” ujarku pada Aisyah.

“Terserahlah. Tapi setidaknya, di bulan Ramadhan ini kau bisa mengurangi kebiasaan buruk itu. Mumpung ini bulan suci, bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Siapa yang bisa menjamin kalau kita masih hidup di Ramadhan tahun depan? Bisa jadi, ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita!’ tutur Aisyah.

“Ramadhan tahun lalu aku sudah banyak beribadah, berdoa dan meminta pada Tuhan. Tapi sampai sekarang aku tak pernah merasa Tuhan mengabulkan doaku. Jadi, aku rasa biasa-biasa sajalah! Bulan Ramadhan atau bukan, sama saja!”

“Huss, jangan ngawur kamu, ucapanmu itu sudah keterlaluan! Ingat Lila, tidak ada satu manusia pun yang tahu, berapa lama ia akan hidup di dunia ini. Beribadah itu harus tulus, tak perlu mengharap imbalan atau balasan dari Tuhan. Bukankah sudah kewajiban kita untuk mengabdikan diri pada Yang Maha Kaya, Sang pemilik alam, pemilik kita. Sebelum Dia mengambil kita untuk kembali pada Nya!?!”

“Tapi aku merasa sama saja. Aku rajin beribadah atau tidak, aku banyak berdo’a atau tidak, hidupku tetap sama saja, begini-begini saja. Kau lihat Pak Broto dan keluarganya itu, mereka tak pernah beribadah. Jangankan ibadah di bulan Ramadhan, sholat sehari-hari saja mereka tak pernah. Tapi mereka bisa kaya, sangat kaya bahkan!” tegasku sebelum meninggalkan Aisyah.

Aisyah menggelengkan kepala. Menghela nafas panjang seraya melanjutkan menata buku di rak, sesuai klasifikasinya. Aisyah dan aku memiliki sebuah toko buku yang sudah setahun kami rintis. Tidak terlalu besar memang. Tapi hasil yang kami dapat, cukup buat bertahan hidup. Setiap hari kami bergantian menjaga toko buku itu. Karena letaknya tak jauh dari rumahku dan rumah Aisyah, jadi kami bisa dengan gampang mengelola dan memantaunya. Niat awal Aisyah sebenarnya hanya mendirikan persewaan komik dan karya sastra. Tapi aku memberanikan diri untuk menambahkannya dengan menjual buku, selain juga menyewakan komik dan karya sastra.

Bermodalkan koleksi komik dan karya sastra Aisyah yang jumlahnya cukup banyak, ditambah dengan tabunganku yang tak seberapa, kami berdua pun membuka toko buku sekaligus rental komik dan karya sastra. Penghasilan yang kami dapat memang tidak banyak. Hal itulah yang membuatku iri dengan tetanggaku, Pak Broto. Ia juga memiliki beberapa toko dan rental PS yang penghasilannya besar. Rentalnya selalu ramai dengan anak-anak. Itulah yang membuat aku dan sahabatku Aisyah tak habis pikir. Generasi muda kita lebih tertarik bermain PS, video game daripada membaca buku.

Aku juga sering merasa Tuhan tidak adil. Pak Broto yang tidak pernah ibadah, berdoa atau mengenal Tuhan saja bisa sukses dan kaya raya. Sementara aku yang selalu mencoba meningkatkan ibadah seperti yang disarankan sahabatku Aisyah, tetap saja aku tak bisa seperti Pak Broto.

Aisyah selalu menyuruhku beristighfar setiap kali aku membahas Pak Broto yang bisa hidup sukses, enak, kaya raya tanpa harus beribadah.

@@@@@

Seperti malam Minggu biasanya, malam Minggu ini aku pergi bersama teman-teman. Roy, Bagas dan Andhika menyusulku di toko buku. Mereka rela menungguku yang masih menjaga toko buku karena Aisyah belum juga datang menggantikan aku. Setengah jam berselang, Aisyah muncul dan aku pun bergegas pergi bersama Roy, Bagas dan Andhika. Kami mengendarai motor masing-masing menuju alun-alun, tempat tongkrongan pertama kami sebelum berkumpul bersama para pengamen di Jalan Mpu Prapanca. Jalan itulah yang menjadi tempat favorit para pemuda di kota kami setiap menghabiskan malam panjang.

Di tengah perjalanan menuju alun-alun, tiba-tiba sebuah mobil box melaju sangat kencang di depanku. Demi menghindari mobil box itu, aku pun membawa motorku ke bahu jalan,meliuk-liuk bagai pembalap ulung yang beradu di arena balap. Karena melihat ketiga temanku yang sudah jauh di depan, aku menambah kecepatan motor hingga akhirnya aku bisa mendahului mereka. Tapi di pertigaan Jalan Mpu Prapanca, aku membelokkan motor ke arah kiri dengan kecepatan tinggi. Tanpa kusadari, di depan juga ada mobil pick up yang melaju sangat kencang. Aku kehilangan kendali, tak mampu lagi mengurangi kecepatan motorku. Aku semakin gagap dan tak bisa menghindari mobil pick up itu lagi. Kucoba untuk nge-rem, tapi terlambat. Mobil itu sudah menyentuh ujung motorku, saling berbenturan dan menghasilkan bunyi keras yang dahsyat. Aku terlempar ke trotoar, kepalaku terbentur batuan trotoar. Banyak darah segar mengalir dari kepalaku bagian belakang, hidung dan telinga. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

Perlahan ku coba membuka mata meski terasa sangat berat. Sekelilingku terlihat berwarna putih semua, dua orang berusaha menenangkanku setelah aku sadar bahwa aku sudah di Rumah Sakit. Kepalaku sangat sakit, rasanya aku tak mampu bertahan. Tubuhku begitu lemah, tak bisa bergerak sedikit pun. Tiba-tiba nafasku tersengal-sengal, sulit bagiku untuk bernafas. Inikah akhir hidupku? Tuhan, seandainya aku mengikuti kata-kata Aisyah, seandainya kemarin-kemarin aku bisa meyakinkan diri bahwa ini Ramadhan terakhirku. Seketika itu ingatanku hanya tertuju pada Tuhan. Aku sungguh menyesal. Tak kusangka, Tuhan menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terakhir bagiku.

Aku semakin sulit bernafas. Tiba-tiba kudengar lirih suara Aisyah menuntunku mengucap; “Laailaha illAllah....” sebelum nafasku lepas dan mataku tertutup selamanya.

***********

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: RAMADHAN TERAKHIR
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ulashoim.blogspot.com/2012/08/ramadhan-terakhir.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 comments:

Post a Comment

Cara Buat Email Di Google | Copyright of Lautan Hati Oela.