Selamat Jalan, Adek kesayangan! Allohummaghfirlahu...
Tuesday 26 January 2016
3
comments
Rasa kehilangan bukanlah kali pertama ini kualami. Dalam kurun
waktu dua tahun ini, Allah telah mengambil tiga anggota keluargaku secara
beruntun. Selain tawakkal, maka yang harus aku lakukan adalah, tetap positif
thinking dan husnudhon pada kuasa serta qodarNya.
Masih teringat jelas dalam memoryku, bagaimana detik-detik
kehilangan nenek pada 13 Pebruari 2014 lalu. Dan selang enam bulan kemudian,
tepat pada 13 Agustus 2014,` ibuku pun pergi menghadap Ilahi. Belum genap satu
setengah tahun, adik satu-satunya dipanggil Allah, tepat pada penghujung tahun;
31 Desember 2015. Maka sekarang, aku hanya bisa pasrah. Dan sungguh, kalimat
yang aku berikan padaNya adalah: kini, apa lagi yang akan Kau perbuat padaku?
apa lagi yang akan Kau ambil dariku? apa lagi yang akan Kau taqdirkan padaku?
Berupa kesedihan, luka, duka, air mata…. maka berupa apapun, aku sudah (harus)
siap! Dan, bimbinglah aku untuk tetap ikhlas, Tuhan…
Saat ini, kalimat yang masih bisa aku tujukan pada sang
Kholiq; sungguh, aku sudah tak berdaya, Tuhan. Tak ada satupun, tak ada apa-apa
pun yang aku punya. Karena semua hanya milikMu, dan pada akhirnya akan kembali
padaMu. Jika sudah sadar akan semua itu, maka aku pun tak lagi mampu mengakui
keberadaan diri ini, tak kuasa mengakui kepemilikan, dan kekuatan diri ini. Aku
tak ada apa-apanya. Dan aku, bukanlah apa-apa. Semua adalah milikMu, semua
kekuasaanMu. Jika semua sudah Kau ambil, maka aku bisa apa…?
Setidaknya hanya deretan kalimat itu yang mampu aku tujukan
padaNya, sang Penguasa Jagad Raya.
Seperti halnya saat aku kehilangan satu-satunya saudara,
satu-satunya adik yang aku punya. Semua terjadi begitu cepat. Aku sendiri tak
mampu menalarnya dengan logis. Aku tahu, semua akan berpulang pada Yang Maha
Kuasa. Tapi terkadang masih muncul rasa ketidakpercayaan; “kenapa begitu cepat
adik meninggalkanku?” Sepertinya aku ingin protes padaNya; kenapa harus aku yang
mengalami ini? Belum cukupkah Ia ambil nenek dan ibuku secara beruntun, hanya
dalam rentang waktu enam bulan itu? Lantas kenapa lagi masih Ia ambil adikku
satu-satunya? Tuhan…….
Belakangan aku sering menyesali diri, kenapa aku tak pernah
peka dari dulu, kenapa aku tak bisa merasakan bahwa adikku sebenarnya sudah
merasakan sakit sejak lama, dan ia hanya menahan serta merasakannya
sendiri….
Sejak pertengahan Desember 2015 itu, adik sudah sering tampak
sakit. Tapi ia tak pernah mengatakannya, bahkan sepertinya ia tak ingin
menunjukkan rasa sakit itu. Sesak nafas tiba-tiba sering ia alami. Dan, aku
hanya menanyakan apa yang ia rasa. Adik cuma mengatakan bahwa ia baik-baik saja,
hanya sedikit sesak nafas, seperti yang pernah dialami almarhumah ibu dulu.
Sempat aku mengajaknya berobat dan periksa, tapi ia menolak dengan alasan bahwa
ia masih baik-baik saja, dan akan baik-baik saja.
5 Desember 2015, aku mengantar adik mencari etalase untuk
kepentingan tokonya. Ia baru saja menyewa toko untuk mengisi kesibukannya,
menjual alat tulis dan pulsa. Keesokan harinya, aku masih menemaninya berbelanja
untuk keperluan tokonya. Aku memang sengaja menyempatkan diri menemaninya, dan
kebetulan juga disekolahku masih efektif fakultatif, jadi jadwal mengajarku
masih kosong. Saat menemani adik belanja, harusnya aku sudah peka, harusnya aku
tahu bahwa saat itu adik sudah menahan rasa sakitnya. Bahkan ia masih memaksakan
diri untuk beraktivitas, masih menunjukkan padaku bahwa ia kuat melakukan
apapun. Saat selesai belanja alat tulis, didepan pusat grosir itu aku
menyuruhnya mengangkat sekardus kertas F4, tapi ia terlihat terengah-engah. Tak
berapa lama ia kemudian menundukkan kepala dan mengarahkan pandangannya pada
kardus itu. Ia memberi isyarat agar aku saja yang membawa dan mengangkat kardus
itu. Dengan sedikit menggerutu dalam hati, akhirnya kuangkat juga kardus itu.
Peristiwa itu yang masih aku sesalkan hingga saat ini. Kenapa aku tak cukup peka
menyadari bahwa adikku saat itu menahan sakitnya, dan tak mau menunjukkan
padaku. Sungguh, aku bersalah Tuhan…..
Tiga hari berselang dari peristiwa itu, adik mulai membuka
tokonya. Sementara aku tak bisa menemaninya, karena aku masih harus kerja. Hari
pertama adik membuka toko, ia pulang hingga sore hari. Sesampainya ia dirumah,
aku langsung memburunya dengan beragam pertanyaan, tentang keadaan tokonya,
tentang pembeli, situasinya, suasananya, dan lain-lain. Ia hanya menjawab dengan
singkat, bahwa ada pembeli tapi masih sedikit. Aku pun hanya bisa menyemangati,
dan menghiburnya. “Ya maklumlah, kan baru pertama”, ucapku. Dengan santai adik
menjawab, “iya, santai aja!”
Setelah hari pertama buka toko itu, adik terlihat semakin lemas
dan pucat. Tapi ia masih saja melakukan aktivitas seperti biasa, ia masih pulang
pergi ke toko dan melakukan kegiatan lain sehari-hari. Tepat pada 19 Desember
2015, ia mengajakku mencari notebok, karena ia berencana akan membuka cetak
photo di tokonya itu. Sabtu siang itu, 19 desember 2015, aku bersiap-siap
mengantar adik membeli notebok. Agak lama kutunggu dia diruang tengah, rupanya
ia masih sholat dzuhur. Aku membiarkan dia sholat sembari kusantap makanan
ringan di meja ruang tengah. Cukup lama aku menunggunya. Ternyata adik masih
dimushollah keluarga dan sampai tiba waktu ashar, adik menunaikan sholat ashar.
Aku masih saja membiarkan dan menunggu dia sampai selesai sholat.
Usai sholat ashar, adik tiba-tiba duduk di ruang tamu dan
terlihat terengah-engah. Kuhampiri dan kutanya kapan akan membeli notebok. Ia
menjawab dengan perlahan. Ia bilang kalau masih kurang fit dan memintaku untuk
menunggu sebentar. Aku menurut saja. Segera kusuruh ia istirahat dulu, tidur
dikamar sebelah kamarku, kamar yang dulu sering digunakan ibu tidur siang.
Sebenarnya kamar itu adalah kamar kosong, kamar untuk tamu kalau-kalau ada
keluarga yang datang. Dulu, almarhumah ibu sering memakai kamar itu untuk tidur
siang, bahkan saat beliau merasa tak enak badan, kamar itu menjadi tempat
favoritnya. Setelah ibu meninggal, kamar itu tak lagi digunakan. Akhirnya, saat
adik sakit dan mulai terlihat lemah, aku menyuruhnya tidur dikamar itu. Daripada
adik harus naik tangga dan tidur dikamarnya diatas. Sepertinya dikamar itu lebih
mudah, lebih nyaman juga, dan aku bisa memantaunya dengan gampang.
Sejak 19 desember itu, keadaan fisik adik sudah bertambah
parah, terlihat lemah dan semakin kurus saja. Keesokan harinya, ayah melihat
kondisi adik mulai memburuk, akhirnya kami memutuskan untuk memanggil seorang
saudara yang juga sebagai petugas kesehatan di puskesmas kelurahan. Mulanya aku
minta ayah memanggil dokter untuk memeriksa dan memasangi infus. Tapi entah
kenapa ayah lebih memilih untuk memanggil saudara kami yang petugas kesehatan
itu. Seminggu lamanya petugas kesehatan itu merawat adik, tiap hari petugas
kesehatan itu memantau kondisi adik, menyuntiknya, dan memberi beragam obat yang
harus diminum 3 kali sehari. Namun keadaan adik tak juga membaik. Hingga
akhirnya, Sabtu 26 Desember 2015 kami memutuskan untuk membawa adik ke rumah
sakit.
Saat akan dibawa kerumah sakit, adik sebenarnya meminta di
rumah sakit umum RSUD Dr. sholeh, di tempat dulu nenek dirawat. Namun
aku punya pertimbangan lain, aku lebih memilih rumah sakit Husada.
Karena letaknya lebih dekat dengan rumah, jadi jika aku harus bolak-balik rumah
sakit ke rumah dan sebaliknya, itu akan lebih mudah dan tidak memakan waktu
lama. Akhirnya adik pasrah saja mengikuti keputusan untuk dibawa kerumah sakit
terdekat dari rumah kami itu.
Sehari dirawat di rumah sakit, adik terlihat mulai membaik dan
tidak terlalu pucat lagi. Hari Senin adik mulai terlihat sedikit lebih segar,
raut ketenangan ia tampakkan di wajahnya. Namun masih saja adik mengalami sesak
nafas. Entah kenapa adik terlihat sangat kesulitan bernafas. Menurut dokter yang
memeriksa, adik mengalami infeksi paru-paru. Pengobatannya bisa memakan waktu
lama, kuncinya harus sabar dan telaten. Itu menurut diagnosa dokter
yang disampaikan padaku. Senin siang, ada saudara sepupu ibu yang menjenguk.
Mendengar adik mengidap infeksi paru-paru, ia menyarankan untuk dibawa ke dokter
spesialis paru-paru yang tempat prakteknya juga tak jauh dari rumah. Karena
berdasarkan pengalamannya sendiri, saudara sepupu ibu itu bisa sembuh dalam
jangka waktu enam bulan. Berdasarkan cerita dari sepupu ibu itu akhirnya adik
meminta untuk dibawa ke dokter tersebut, namanya Dokter Supriyadi. Keesokan
harinya, aku sempat berdiskusi dengan paman, adik sulung ibu. Aku utarakan
keinginan adik untuk segera pulang dan dibawa ke dokter Supriyadi. Paman
langsung saja menyetujui. Menurutnya, apapun yang diinginkan adik sebaiknya kita
turuti saja, pasti akan berdampak baik bagi adik sendiri. Akhirnya aku
menjanjikan ke adik bahwa aku akan mencari informasi ke tempat praktik Dokter
Supriyadi.
Selasa, 29 Dessember 2015 kira-kira jam 9 malam, ada seorang
dokter bedah yang tiba-tiba masuk ke ruangan adik dirawat. Ia memeriksa adikku
sebentar dan kemudian keluar. Tak berapa lama, dokter bedah yang belakangan aku
ketahui namanya Dokter Abrar itu memanggil pihak keluarga pasien. Aku dan ayah
pergi menemuinya. Diruang perawat, dokter Abrar menjelaskan bahwa ada kelainan
pada paru-paru adikku. Menurutnya, ada udara yang terjebak di paru-paru adik.
Udara itulah yang selama ini menyebabkan adik kesulitan bernafas. Maka udara itu
harus dikeluarkan. Caranya, dengan menggunakan alat yang dipasang dibadan adik,
dipasang melalui pinggangnya. Aku sendiri lupa nama alat itu apa. Saat dokter
itu menjelaskan, aku hanya fokus pada mekanisme pemasangan alat dan keberhasilan
tindakan itu. Alat itu dipasang dengan cara membedah pinggang adik terlebih
dahulu, lantas alat itu baru bisa dipasang dibadan adik kemudian alat itu baru
bisa bekerja sesuai fungsinya, mengeluarkan udara yang terjebak dalam paru-paru
adikku.
Aku menanyakan risiko jika alat itu dipasang. Ternyata risiko
terberatnya adalah kematian, namun jika tidak dipasang maka udara akan semakin
bertambah di paru-paru adik, dan akan semakin menambah kesulitan adik untuk
bernafas. Ketika kutanya prosentase keberhasilan tindakan tersebut, dokter bedah
itu tidak bisa memastikan. Bahkan ia juga tak bisa memberi sedikit gambaran.
Lalu kutanya berapa lama alat itu harus dipasang dibadan adik. Lagi-lagi, sang
dokter juga tidak bisa memberi kepastian. Dalam hati aku sudah tidak setuju
dengan tindakan tersebut, aku menjadi sangat tak tega jika adik harus menanggung
rasa sakit karena alat-alat medis harus melekat dibadannya. Bagaimana tidak,
saat melihat adik disuntik diberbagai bagian tubuhnya hanya untuk mengambil
sample darahnya saja, aku sudah menangis tak tertahan. Apalagi harus dipasang
alat medis yang mengharuskan membedah bagian tubuh adik, aku sangat sakit dan
berat hati.
Segera kutanyakan solusi lain atas penyakit yang diderita
adikku. Dokter bedah itu mengatakan bahwa tak ada lagi solusi lain. Dan ia hanya
memberi waktu dua jam bagi aku dan keluarga untuk berpikir. Dua jam kedepan, aku
harus menyampaikan keputusan, setuju atau tidak dengan tindakan yang ditawarkan
dokter itu. Durasi waktu dua jam diberikan karena dokter itu akan segera ada
acara lain diluar kota. Sehingga menurutnya, jika aku sudah memberikan
keputussan, maka akan segera dilakukan tindakan itu. Aku segera merundingkannya
dengan adik-adik ibu yang laki-laki. Malam itu, ada tiga adik laki-laki ibu yang
menemaniku. Ketiga pamanku itu menanyakan tentang pendapatku, secara pribadi aku
setuju atau tidak. Segera saja aku jawab kalau aku keberatan dengan tindakan
itu. Menurut salah satu pamanku, kalau si dokter tak bisa memberikan gambaran
dan prosentase keberhasilan tindakan tersebut, berarti hal itu masih meragukan .
Hal yang paling ditakuti pamanku adalah; takutnya tindakan itu malah menjadi
semacam percobaan, malpraktik, dan banyak kekhawatiran-kekhawatiran lainnya
juga. Intinya, pamanku juga masih keberatan dengan pemasangan alat yang harus
membedah badan adikku.
Waktu terus berjalan. Dua jam pun berlalu dari penyampaian
dokter bedah tadi. Tibalah saatnya aku untuk memberi dan menyampaikan
keputusanku. Maka dengan keberserahan pada kuasaNya, aku menolak usulan tindakan
dari dokter Abrar untuk membedah dan memasang alat medis ditubuh adikku. Meski
tindakan tersebut dinilai mampu mengatasi kesulitan adik untuk bernafas, namun
sang dokter masih belum bisa memastikan tentang prosentase keberhasilan tindakan
tersebut. Setidaknya, dokter harusnya bisa menggambarkan bagaimana ketika alat
itu dipasang, reaksi dan operasional alat itu ditubuh adik, mekanisme kerja alat
tersebut dan bahkan kemungkinan keberhasilan atau tidaknya tindakan itu. Karena
tak bisa kudapatkan sedikitpun jawaban tentang berbagai hal tersebut, maka aku
memutuskan untuk menolak dilakukannya tindakan pemasangan alat medis itu. Aku
hanya mengandalkan doa tulusku pada Allah. Aku yakin bahwa “ Laa syifa’a
illa syifa’uka… “ Beribu-ribu kali doa itu kupanjatkan. Tak
henti-hentinya mulut dan hatiku merapal doa, memohon kesembuhan dan kesehatan
untuk adikku, adik satu-satunya yang kupunya.
Beberapa menit berlalu dari ketegangan penyampaian keputusanku
itu, tiba-tiba adik mengalami sesak nafas yang sangat parah. Adik terlihat
sangat kesulitan untuk bernafas. Ia bernafas dengan terengah-engah. Pamanku
panik dan kami pun segera memanggil perawat. Tak lama kemudian perawat datang
dan memeriksa kondisi adik, setelah itu si perawat memanggil dokter. Beberapa
saat kemudian dokter mengharuskan adik memakai oksigen dengan ukuran yang besar.
Bantuan nafas oksigen yang selama ini digunakan sudah tak cukup mampu mensuplay
ketersediaan oksigen ke seluruh tubuh adikku. Saat dicoba memasang alat bantu
oksigen dengan masker yang besar itu, adik terlihat tak nyaman. Ia mengeluhkan
keadaannya jika memakai alat itu, ia meronta dan memaksa untuk melepas alat itu
dari hidung dan mulutnya. Aku semakin tak tega melihatnya. Segera kuminta
perawat untuk melepasnya sebentar saja. Perawat itu menuruti saja permintaanku.
Namun adik semakin terlihat terengah-engah dan sangat kesulitan bernafas.
Akhirnya perawat memberi penjelasan panjang lebar padaku, bahwa adikku harus
menggunakan bantuan oksigen dengan masker yang besar, entah apa namanya. Aku
sudah lupa.
Beberapa saat kemudian, perawat memberitahukan bahwa adik harus
dibawa ke UGD sebentar, perawat dan dokter jaga malam itu akan membuktikan bahwa
sebenarnya adik sangat membutuhkan pemakaian oksigen dengan masker besar itu. Di
UGD, adik dipakaikan oksigen dengan masker besar yang dihubungkan dengan alat
deteksi masuknya oksigen dalam tubuh. Dengan masker besar itu, oksigen dapat
masuk 99 % ke seluruh tubuh. Kemudian perawat membandingkan dengan pemakaian
oksigen dengan masker biasa, yang sudah dipakai adik selama ini. Dengan
pemakaian oksigen yang biasa itu, masuk dan suply oksigen ke seluruh tubuh hanya
mencapai 58 %. Itu artinya, dengan menggunakan oksigen yang biasa itu, oksigen
tidak mampu memenuhi seluruh tubuh adik, termasuk kedalam otaknya. Namun jika
menggunakan oksigen dengan masker yang besar itu, ketersediaan oksigen mampu
mencukupi seluruh tubuhnya. Panjang lebar perawat dan dokter jaga menjelasakan
lagi padaku. Akhirnya, perlahan aku membujuk adik agar mau dipasang oksigen yang
besar itu. Tapi ia masih menolak dengan alasan tidak nyaman dan terasa sakit
dihidung serta mulutnya. Mati-matian aku dan pamanku membujuk adik, namun ia
masih kekeh menolak rayuan kami. Akhirnya dengan memaksa, perawat
memasangkan oksigen besar itu kemudian adik dibawa kembali ke kamarnya.
Dikamar, adik masih dipakaikan oksigen besar itu. Ia ditemani adik sulung ibu.
Sementara aku masih berbincang dengan pamanku yang lain diluar. Sebentar
kemudian, pamanku yang didalam memberitahukan kalau adik muntah mengeluarkan
banyak dahak, dan oksigen masker besar itu terlepas. Pamanku yang didalam
terlihat tak tega melihat adik memakai alat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk
memanggil perawat dan melepas alat oksigen besar itu kemudian mengganti dengan
oksigen kecil yang biasa dipakai adik sebelumnya. Perawat kembali menanyakan
tentang keyakinanku, si perawat masih saja menjelaskan bahwa adikku sangat
membutuhkan penggunaan oksigen besar itu. Aku sebenarnya menyetujui usulan
perawat, tapi adikku sendiri terlihat tidak nyaman menggunakannya, dan ia merasa
tersiksa dengan alat itu. Akhirnya perawat menuruti permintaanku. Adik kembali
menggunakan oksigen yang biasa dipakai sebelumnya, dan ia terlihat sedikit lebih
tenang. Untuk sementara, kubiarkan ia istirahat dan memejamkan matanya. Semoga
besuk pagi kondisinya bisa lebih baik, harapku.
Rabu pagi, 30 Desember 2015 aku bersama pamanku pergi ke tempat
praktik Dr. Supriyadi, dokter spesialis paru-paru. Dokter itu hanya membuka
praktiknya di pagi jam 06.30-07.00 dan sore jam 17.00-20.00. Karena takut banyak
pasien yang datang, aku dan paman memutuskan untuk kesana pagi hari. Sesampainya
disana, kami mendapati tempat praktik dokter itu masih sepi. Artinya, kami tak
perlu menunggu antrean. Segera saja aku mendaftar dan berkonsultasi. Dokter
spesialis itu meminta kami membawa hasil rontgen dan sekaligus si pasien,
adikku. Ia bersedia memeriksa meskipun pasien tidak bisa turun dan masuk
ketempat praktik. Dokter itu mau memeriksa jika memang kondisi pasien tidak
memungkinkan turun dari mobil. Begitu penjelasan yang kami terima.
Setelah konsultasi itu, segera kusampaikan pada adik. Adik
menyambutnya dengan antusias dan ia ingin segera ke dokter Supriyadi. Katanya ia
sudah tak tahan lagi berada di rumah sakit. Tapi jika nantinya dokter Supriyadi
menyarankan rawat inap, adik lebih memilih di RSUD dr. moh saleh. Lagi-lagi ia
mengutarakan kalau ingin ditempat almarhumah nenek dulu dirawat. Aku hanya
mengiyakan saja. Aku dan paman kembali memberinya semangat, mensupport dia
semaksimal mungkin. Kami hanya ingin yang terbaik buat adik. Mendengar suntikan
semangat dari kami, adik terlihat sumringah. Ia menampakkan semangat
dan keinginan untuk sembuh yang tinggi. Dalam perbincangan kami bertiga,
akhirnya kami memutuskan untuk membawa adik pulang besuk sore dan segera menuju
tempat praktik dokter supriyadi. Adik sepakat dengan hal itu. Kembali ia
menampakkan senyumnya, dan hal itu membuatku senang. Setelah perbincangan itu,
adik tiba-tiba mengutarakan keinginannya makan pisang. Jenis pisang
marlyn yang dimintanya. Akhirnya pamanku bergegas pergi mencari dan
membelikan pisang yang diinginkan adik. Kurang lebih setengah jam paman pergi
membeli pisang. Setelah dapat, aku buru-buru memberikannya pada adik. Kusuapinya
sedikit demi sedikit. Namun tak sampai habis satu buah, adik sudah tak mau lagi.
Akhirnya ia minta minum dan ingin segera tidur. Aku membiarkannya beristirahat.
Tak lama adikku tertidur. tiba-tiba ia bangun dan mengeluhkan
sakit didadanya, ia sesak nafas dan terlihat sangat gelisah. Saat itu hanya ada
aku dan ayah disampingnya. Pamanku masih harus pulang kerumahnya. Adik terlihat
menahan kesakitan. Aku dan ayah semakin bingung. Kutanyakan brangkali kadar
oksigennya kurang besar. Adik menggangguk pelan. Segera kuputar tombol ditabung
oksigen itu. Sampai adik merasakan cukup dan nyaman, aku kembali mendekatinya.
Adik masih saja terlihat gelisah dan menahan sakit. Tiba-tiba ia menarik
tanganku, memintaku untuk memegang tab yang biasa kubawa, dan menyuruhku untuk
membacakan ayat-ayat alqur’an di tabletku itu. Selama adik dirawat di rumah
sakit, aku memang tak sempat membawa alqu’an atau sekedar bacaan surah yasin.
Aku hanya membawa tab yang sudah terinstal Alqur’an. Setiap pagi setelah adik
diperiksa dokter dan mendapat obat suntik, aku sengaja membacakan beberapa surah
didekatnya. Kuyakin, Al qur’an yang berfungsi sebagai obat itu setidaknya akan
memberikan efek ketenangan bagi adik, dan bagiku juga tentunya. Maka saat adik
merasa sakit dan terlihat sangat gelisah dengan kondisinya sendiri itu, ia
memintaku untuk membacakan Alqur’an lagi untuknya. Tanpa menunggu lama, aku
segera mengambil tab dan membacakan surah Ar Ro’du, Al Mulk, dan Yaasiin
untuknya. Mendengar bacaan itu, adik tampak sedikit tenang. Tak lagi gelisah
seperti tadi. Meskipun ia masih saja terlihat menahan rasa sakitnya. Tak apalah,
setidaknya adik sudah tidak kebingungan karena sakitnya. Perlahan ia mulai bisa
menenangkan diri dan beristirahat lagi.
Masih dihari yang sama, siang itu adik mengatakan ingin makan
nasi rawon. Aku menjanjikan akan membelikannya nanti sore. Karena saat itu aku
hanya ditemani dua sepupuku yang masih keci-kecil. Jadi tak mungkin aku
meninggalkan adik bersama mereka. Aku masih menunggu paman dan bibiku, yang bisa
membelikan rawon buat adik. Sore harinya, tanpa sepengetahuanku ternyata bibiku
membelikan rawon buat adik. Bersama sepupuku, bibi menyuapi adik nasi rawon.
Sementara aku dan paman pergi ke doter supriyadi untuk membawakan hasil rontgen
milik adik. Dokter supriyadi mengatakan kalau flek di paru-paru adik sudah
banyak menyebar dan parah. ia menawarkan solusi pengobatan paru-paru enam bulan.
Kami segera menerimanya, dan akan kembali dengan membawa adik besuk sore.
Saat kembali ke rumah sakit, aku mendekati adikku lagi.
Kujelaskan bahwa besuk kita akan pulang dan segera ke tempat paktik dokter
spesialis paru itu. Kutanyakan bagaimana keadaannya, perasaannya, dan apa
keluhannya. Ia mengatakan baik-baik saja, meskipun masih tampak sesak nafas.
Begitulah adikku, dia selalu saja tak pernah mengeluhkan keadaannya. Ia selalu
tak mau membuatku khawatir. Memang sudah jadi prinsipnya, bahwa ia merasa tak
suka membuat orang lain khawatir, apalagi mengkhawatirkan keadaannya. Bahkan dia
merasa lebih baik membantu daripada dibantu. Maka kalimat yang selalu saja ia
berikanp padaku tiap kali aku menanyakan kondisinya, bahwa ia baik-baik saja dan
akan baik-baik saja.
Setelah mengatakan baik-baik saja, adik memberitahuku bahwa ia
sudah makan rawon. Aku yang masih bingung karena aku belum membelikannya,
kujawab saja bahwa aku akan membelikannya sebentar lagi. Tapi ia menjelaskan
lagi bahwa ia sudah dibelikan dan sudah memakannya. Dalam hati aku ragu, aku
bertanya-tanya, jangan-jangan adik mulai bicara yang melantur dan sudah tak
logis lagi. Akhirnya aku hanya mengiyakan saja. Kembali kulihat ia terdiam
setelah aku berusaha mempercayai ucapannya itu.
Tak seberapa lama sepupuku menjelaskan bahwa barusan saja ia
bersama bibi membelikan rawon, dan menyuapi adik sampai tiga sendok.
Alhamdulillah, seruku dalam hati. Ternyata adik menyampaikan kebenaran bahwa ia
sudah makan rawon. Kekhawatiranku yang tadinya menganggap adik mengada-ada itu
akhirnya sirna. Berarti adik masih sadar sepenuhnya. Jujur saat adik sakit dan
sering terlihat gelisah ketika dirawat di rumah sakit, aku merasa takut
kalau-kalau adik bicara yang mengada-ada dan hilang kesadaran, mengomel tak ada
arah, dan menggerutu hal-hal yang tidak-tidak. Begitu yang biasa kulihat dari
orang yang sedang sakit. Tapi ternyata adikku tidak seperti itu. Ia masih sadar
sepenuhnya, ia masih mengerti dan memahami setiap detail peristiwa yang terjadi
disekelilingnya saat itu. Bahkan ia tak pernah menggerutu tak jelas, tak pernah
mengerang kesakitan, atau bahkan menjerit karena sakit. Itu yang sampai saat ini
kukagumi dari adikku. Seberapa parahpun ia mengalami kesakitan, tak pernah
sekalipun ia mengerang atau bahkan menjerit. Hal yang paling sulit aku teladani
darinya.
Adzan maghrib berkumandang. Adik masih terlihat tenang, sembari
kulihat mulutnya mengatup dan sebentar kemudian terbuka, tanda bahwa ia masih
sulit bernafas. Sesekali kudengar ia merapal lafal istighfar. “Tuhan, mohon
angkatlah penyakit adikku…!” jeritku dalam hati. Sejenak berlalu, adikku
tiba-tiba meminta susu dingin. Segera kuambilkan susu dari kulkas. Sebelum
kuberikan, bibi sempat khawatir kalau-kalau adik tak boleh minum susu dingin.
Tapi aku tak peduli, apapun yang adik minta akan kuberikan. Saat itu aku hanya
ingin melihat adik senang, bisa mendapatkan keinginannya. Meskipun ia masih
dalam keadaan sakit. Akhirnya tetap kutuntun adik minum susu dingin itu. Cukup
banyak ia meneguk. Dan beberapa menit kemudian, ia meminta lagi. Tentu saja
kuturuti keinginannya itu.
Hari semakin malam. Kutawari adik makan. Mungkin saja ia merasa
lapar tapi enggan bilang, pikirku dalam hati. Alhamdulilah, ia meminta roti.
Segera saja kuambilkan roti rasa coklat favoritnya, dan kusuapi sedikit demi
sedikit. Tak banyak adik memakan roti kesukaannya itu. Sangat berbeda dengan
saat ia masih segar bugar dan fit. Biasanya ia sangat lahap jika makan, apalagi
makananan favoritnya. Tapi malam itu, adik hanya mau makan roti sedikit saja,
dan minum susu. Semalaman itu ia berkali-kali meminta susu dingin. Dan aku tentu
saja bersedia memenuhinya. Bagiku, dengan melihat adik tenang dan bahagia
mendapatkan apa yang ia inginkan, adalah sebuah kegembiraan yang luar biasa.
Karena tak ada yang lebih membahagiakan hati, selain melihat orang yang kita
sayangi bahagia.
Selain sering meminta susu dingin semalaman itu, adik juga
sering batuk dan mengeluarkan dahak. Padahal sejak masuk rumah sakit, adik sudah
jarang sekali batuk-batuk seperti saat di rumah. Entah kenapa malam itu adik
menjadi sering batuk, dengan jeda waktu yang kerap, dan intensitas yang tinggi.
Rasanya jarak dari batuk yang pertama dengan batuk berikutnya itu hanya terpaut
sepuluh menitan saja. Jadi tiap sepuluh menit berlalu, adik pasti batuk lagi,
dan mengeluarkan dahak lagi. Karena badannya lemah dan tak kuat bergerak miring
hanya untuk mengeluarkan dahak, akhirnya aku menyediakan gelas kecil untuk
mengambil dahak dari mulutnya itu. Sengaja kubiarkan adik untuk tidak banyak
bergerak, bahkan untuk sekedar membuang dahaknya. Aku sendiri yang menadahkan
dahak dimulutnya. Kudekatkan gelas plastik bekas air mineral kemulutnya, lalu
pelan-pelan kutadahkan dahak dari mulutnya itu. Setelah itu aku usapkan tisu
disekeliling mulutnya, kalau-kalau ada sisa air atau dahak yang tersisa dan
menempel dipinggir mulutnya. Setiap kali aku menadahkan dahaknya, adik terlihat
lemas dan sepertinya sungkan. Mungkin ia merasa tak enak hati karena
telah merepotkanku. Selama ini ia tak pernah merepotkanku, bahkan aku yang
selalu saja merepotkannya. Begitulah adikku, ia lebih suka membantu daripada
harus dibantu.
Tapi sejak adikku sakit, aku jadi merasa sangat ingin selalu
berada disampingnya, dan memenuhi apa saja yang ia inginkan. Bahkan ketika di
rumh sakit, aku sengaja tak pernah meninggalkannya, kecuali untuk pulang
sebentar karena harus mandi dan menghidupkan serta mematikan lampu rumah. Aku
memang tak ingin meninggalkan adik di rumah sakit lama-lama. Karena aku harus
tahu bagaimana keadaan serta perkembangan adikku setiap detiknya. Bukan berarti
aku tidak percaya pada ayah, paman, atau bibiku yang menjaga adik saat dirumah
sakit. Tapi entah kenapa aku merasa harus berada didekatnya. Aku tak ingin
jauh-jauh darinya saat ia sakit. Dan aku merasa harus tahu keadaannya, harus
tahu apa yang dirasakannya setiap detik.
Kamis pagi, 31 Desember 2015. Jarum dijam tanganku menunjuk
pada angka enam. Aku berniat untuk pulang sebentar, sekedar mandi, mematikan
lampu rumah, dan membawakan baju ganti untuk adik. Saat aku sudah bersiap-siap
keluar dan hendak membuka pintu, terlebih dulu kusempatkan diri memegang kening
adik dan berpamitan padanya. Tiba-tiba kurasakan keningnya panas. Segera
kuperiksa bagian lengan dan badannya, seluruh badannya juga panas. Aku panik
karena tak biasanya adik panas. Kemarin keadaannya sudah membaik, suhu badan dan
tekanann darahnya normal. Mengetahui hal itu, ayah lantas menyuruhku
mengurungkan niat untuk pulang. Aku sepakat. Lalu kupanggil perawat untuk
memeriksa keadaan adik. Perawat itu menyampaikan bahwa suhu badan adik naik,
panasnya tinggi hingga 39o sementara tensinya 90/60. Tentu saja aku
semakin panik. Karena kemarin dan semalam keadaannya sudah membaik dan normal.
Sebentar kemudian perawat memanggil dokter jaga. Tak seberapa
lama, dokter perempuan yang bertugas jaga pada pagi itu masuk ruangan dan
memeriksa keadaan adik. Tak lama si dokter terlihat sibuk dengan tubuh adikku
yang terlihat semakin lemas. Badannya masih panas, sementara tensinya tetap
rendah. Dokter kemudian keluar ruangan, entah apa yang akan ia lakukan. Aku
sudah tak peduli lagi.Yang aku lakukan segera menghubungi semua paman dan bibiku
via telepon. Satu persatu mereka kuhubungi, dan kuminta datang segera ke rumah
sakit.
Aku benar-benar panik. Sangat panik. Kupegangi tangan kanan
adik. Sementara jemari kiriku mengusap keningnya. Ayah berada disisi kiri adik.
Kudengar ayah perlahan menuntun adik membaca syahadat. Saat itu paman dan bibiku
mulai berdatangan. Dokter jaga kemudian masuk ruangan lagi. Ia memeriksa
keadaan adikku lagi. Sementara adik masih saja terlihat terengah-engah. Kami
semua panik. Dokter perempuan itu kemudian menyarankan supaya tidak terlalu
banyak orang yang berada di dalam kamar. Akhirnya beberapa saudara sepupuku
keluar. Mereka duduk di kursi depan kamar. Sementara aku, ayah, paman, dan bibi
tetap berada didalam. Setelah memeriksa adik untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba
dokter jaga itu mengatakan dengan perlahan; “keluarganya membisik ditelinga adik
saja”. Kalimat dokter itu semakin membuatku panik tak terkira. Setelah itu, ayah
tiba-tiba menatap adik, memegang keningnya seraya berujar; “ayah ikhlas, Nak.”
Hanya kalimat itu yang berulang kali ayah lontarkan. Sementara aku, masih
memegangi tangan adik dan merasa tak terima dengan ucapan ayah. Segera kubentak
ayah. Saat itu, aku masih berpikir bahwa adik akan baik-baik saja. Dia akan
sehat dan pulih seperti biasanya. Dia akan selalu bersamaku, menemaniku, dan
menjagaku. Seperti yang sudah biasa ia lakukan selama ini.
Ayah meminta aku agar mengikhlaskan adik. Aku tak percaya kalau
saat itu adik sudah naza’… Aku masih berharap bahwa adik baik-baik saja, dan
akan baik-baik saja. Aku masih selalu merapal doa pada Allah, aku masih sangat
yakin bahwa “Laa syifaa’a illa syifa’uka…” Berulang kali aku
memohon padaNya: Isyfi akhi… Yaa Robb! Tapi ayah masih saja
membujukku untuk mengikhlaskan adik.
Semakin lama adik terlihat semakin terengah-engah, semakin
kelihatan susah bernafas. Ayah kembali membisikkan kalimat tauhid di telinga
kiri adik. Tak ada respon dari adik selain kedipan matanya. Segera kudekatkan
mulutku ke telinga kanannya. Kubisikkan lafal “Allaah”… Perlahan-lahan dan
sayup kudengar adik menirukan. Ia ucapkan lafal “Allaah” dengan terengah-engah.
Kuulangi lagi, dan adik juga menirukanku lagi. Kutuntun sekali lagi, adik masih
saja menirukanku. Dalam hati, aku masih yakin dan berharap bahwa akan ada
keajaiban, adikku akan pulih kembali. Tapi kenyatan berkata lain. Adik semakin
terlihat susah untuk bernafas. Paman dan bibi mulai mendekat dan memegang tangan
adik. Perlahan kuucapkan kalimat yang biasa kuberikan agar adik bisa semangat
untuk sehat. Aku masih saja mencoba menyemangatinya. Tapi tiba-tiba adik
memandangku. Tatapan matanya tertuju padaku, sayu. Sesaat kemudian air matanya
mengalir deras. Seumur hidupku, tak pernah kulihat adik mengeluarkan air mata,
bahkan saat nenek atau ibu meninggal. Tapi saat itu, disaaat naza’nya, air mata
adik kulihat deras mengalir. Sementara tatapan matanya masih mengarah padaku.
Karena tak tahan melihat air mata adik mengalir, segera kuseret lengan bibiku.
Kuberitahukan bahwa adik menangis. Bibiku pun tak kuasa menahan tangisnya. Ia
ambil tisu dan menyuruhku menyeka air mata adik. Aku benar-benar hancur, remuk,
dan tak ada lagi semangat hidup. Tiba-tiba aku limbung, badanku terasa lemas dan
tak berdaya. Mataku terasa berkunang-kunang, kepalaku seperti berputar-putar.
Melihat keadaanku, bibi segera meraih kursi dibelakangnya. Dituntunnya tubuhku
untuk duduk di kursi. Aku menurut saja. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Paman kemudian mendekat disisi kanan adik, menggantikan
posisiku yang tadi. Paman menyebutkan namanya di telinga adik. Sepertinya paman
ingin menguji kesadaran adik. Mendengar paman menyebutkan namanya, adik
menganggukkan kepala. Selang beberapa detik kemudian, bibiku menunjukkan diri.
Ia juga menyebutkan siapa dirinya di dekat adik. Lagi-lagi, adik menganggukkan
kepala. Hal itu setidaknya menunjukan bahwa adik masih sadar sepenuhnya.
Sementara pamanku yang lain membacakan surah yaasiin. Aku hanya duduk lemas di
kursi, di sebelah kanan kaki adikku. Sebentar kemudian paman memintaku untuk
mengiklhaskan adik pergi. Aku tak menjawab. Aku hanya diam. Dalam hati, aku
masih sangat berharap adik akan kembali sehat.
Karena tak ada jawaban dariku, akhirnya paman mulai membentak
dan kembali mengeluarkan perintah agar aku bisa ihklaskan adik. Saat itu aku
juga melihat pamanku meneteskan air matanya. Aku masih lemas. Perlahan-lahan
kuanggukkan kepala. Seketika itu, setelah kuanggukkan kepalaku dengan pelan dan
ragu, mata adik mulai terpejam perlahan. Baru kusadari, adik tak lagi membuka
matanya kembali. Ia terpejam untuk selamanya. Hatiku memekik, jeritanku
tertahan. Ingin kupanggil adikku keras-keras, tapi suaraku tak keluar, sama
sekali. Ingin rasanya kuhentak tubuhnya, ingin kubangunkan ia. Dan masih ingin
kutagih janjinya; yang katanya akan menemaniku, akan menjagaku, seperti yang
sudah ia janjikan dulu pada ibu dan ayah. Seperti yang telah ia lakukan selama
ini. Tapi aku sadar sepenuhnya, bahwa adikku telah tiada. Ia pergi menghadap
sang Kholiq. Rasanya masih tak percaya, begitu cepat Tuhan memanggil adikku, Ia
mengambil adikku kembali. Bahkan dengan jarak waktu yang tidak lama dari
kepergian ibu.
Tuhan… Rasanya luka ditinggal ibu dan nenek dulu masih belum
pulih benar. Sekarang malah Engkau ambil adikku kembali. Aku benar-benar
kehilangan. Sosok yang selama ini menghiburku, menjagaku, mengantarku kemanapun.
Bahkan yang selalu mau mendengar cerita dan keluhku. Seringkali aku meluapkan
amarahku padanya, terlebih ketika aku sudah merasa lelah, karena pekerjaan atau
hanya karena keadaan rumah yang berantakan. Tapi ia selalu diam menerima setiap
aku marah. Tak pernah sekalipun ia membantah, menyanggah, atau melawan. Ia
selalu terdiam, membiarkan aku mengeluarkan semua emosiku. Terkadang, aku
menyesal karena kerap emosi dan meluapkan amarah. Padahal janjiku dalam hati,
aku tak akan marah walau apapun yang dilakukan adik. Seperti sikap ibu selama
hidupnya. Ibu tak pernah marah atas apa yang dilakukan adik, apapun. Sebenarnya
aku sudah berjanji dalam hatiku sendiri, aku akan berlaku seperti ibu. Tak akan
marah atas apapun yang dilakukan adik. Tapi belum sempat aku wujudkan janjiku
itu, adik sudah lebih dulu meninggalkanku. Tuhan sudah memanggilnya lebih dulu.
Bahkan sebelum aku mampu membahagiakannya. Tuhan… ampuni aku!
Maka setelah adikku menutup mata selamanya, aku sudah tak bisa
lagi melakukan apapun untuknya. Hanya doa yang bisa kupanjatkan pada Yang Maha
Kuasa, Sang Pemilik Segalanya.
Tuhan… mohon bahagiakan adikku, muliakan ia, tempatkan ia di
tempat terindah di sisiMu. Berikan kebebasan ia untuk bertemu dan melayani
nabiMu, Muhammad SAW. Sebagaimana kecintaannya pada Rasulullah yang ia tunjukkan
semasa hidupnya didunia. Maka biarkan ia bercengkrama dengan mesra bersama
RasulMu kini di alamnya …..
Aamiin
Selamat jalan, adek kesayangan….
Allohummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu ‘anhu
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Selamat Jalan, Adek kesayangan! Allohummaghfirlahu...
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ulashoim.blogspot.com/2016/01/selamat-jalan-adek-kesayangan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
3 comments:
Allohummghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu.ya allah berikan tempat terindah di syurgamu ya roob.selamat jalan adek munir yang kukenal selama dipondok baik dan rendah hati.semoga syurga bagimu.amiin
Aamiin....
Terimakasih @Choirul Anshorudiin SHI
Post a Comment