KETIKA PEREMPUAN BERTAUBAT
Sunday, 11 March 2012
0
comments
“K
|
au benar-benar serius ingin bertaubat dan
melahirkan jabang bayi dalam perutmu itu?”
Poppy
mengangguk, lemah tapi pasti. Ia yakin akan keputusannya untuk tetap
mempertahankan anak hasil hubungan haramnya dengan Seno, laki-laki yang
terakhir berkencan dengan Poppy tapi tak mau bertangung jawab, bahkan memaksa
Poppy untuk menggugurkan kandungannya.
“Sekarang
aku sungguh menyesal. Aku sadar, diriku sangat kotor dan hina. Saat ini waktuku
untuk bertaubat. Aku telah banyak mempermainkan laki-laki, memperdayanya,
bersenang-senang dengannya dan mencampakkannya. Kini aku harus terima
konsekuensinya”, tutur Poppy lembut dan penuh penyesalan.
Aku
sangat terharu mendengar penyesalan yang begitu tulus itu. Kuhela nafas
panjang, menatap Poppy dalam. Ah, rasanya baru kali ini kulihat wajah perempuan
sensual itu diselimuti penyesalan. Selama ini Poppy yang aku kenal sangat
percaya diri, penuh pesona dan easy going.
Poppy selalu bertindak semau hatinya, tidak pernah ada kata menyesal, selama
keinginannya untuk bersenang-senang dapat terpenuhi. Terlebih soal laki-laki.
Poppy banyak berkencan dan bersenang-senang dengan laki-laki dari berbagai
kalangan, tipe dan profesi.
Pernah
suatu malam aku mendapatinya berkencan dengan eksekutif muda, pergi semalaman
ke satu-satunya hotel termewah di kota kami. Namun keesokan paginya, Poppy
menitipkan kunci rumahnya padaku dan berpamitan pergi ke luar kota bersama
seorang pria yang jauh lebih tua darinya. Begitulah Poppy yang aku kenal, pergi
dengan satu pria di suatu malam dan bermain dengan pria yang lain di esok
paginya. Aku tak pernah merisaukannya, apalagi menasihatinya atau
memperingatkannya. Aku pikir itu hak dia. Lagipula aku merasa tak enak hati,
karena selama ini Poppy selalu membantuku setiap aku kesulitan, terutama dalam
hal uang.
Tapi
kali ini hatiku tergugah. Poppy mengungkapkan rasa penyesalan yang begitu
dalam, Ia memintaku untuk membimbingnya bertaubat, kembali ke jalan kebaikan.
Rasanya begitu banyak kata-kata yang ingin kuucap untuk memberi nasihat pada
Poppy. Namun entah mengapa setiap ingin membuka mulut, lidahku semakin kelu.
Terasa begitu berat bagiku untuk mengeluarkan kata demi kata yang mengendap
dalam otakku.
“Aku
yakin kau bisa membimbingku, menuntunku untuk bertaubat. Kau seorang muslimah
yang taat. Aku pikir, kau orang yang tepat dalam pertaubatanku ini”, ucap Poppy
seraya menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan tua di teras depan tempat kostku.
Malam itu kami berbincang didepan, karena di kamarku begitu panas. Kebetulan suasana
kost saat itu sepi, para penghuninya sedang pergi menonton konser musik di
alun-alun kota. Tinggal aku sendiri yang berada di kost.
“Kau
terlalu berlebihan Poppy. Aku hanya manusia biasa, masih banyak dosa juga.
Kalau kau ingin seseorang yang mampu membimbingmu, aku sangatlah tak pantas.
Tapi kalau kau mau, aku punya seorang ustadz. Guru mengajiku di masjid”,
tawarku.
“Kalau
menurutmu itu lebih baik, aku setuju. Kau atur saja, kapan aku bisa bertemu
ustadzmu itu!” pinta Poppy seraya menghisap rokoknya yang tinggal setengah
batang.
Poppy
memang perokok berat. Perempuan bertubuh molek
nan cantik itu mengaku sulit meninggalkan rokok. Selama empat tahun aku
mengenalnya akrab, dia tak pernah lupa membawa rokok kemanapun ia pergi.
Menurut
pengakuan Poppy ketika pertama kali aku mengenalnya, rokok adalah pelampiasan
pertama baginya saat ia patah hati. Sedikit memang yang Poppy ceritakan padaku.
Karena aku sendiri pun tak pernah mengorek-ngorek masa lalunya itu. Yang aku
tahu, Poppy perokok berat, akrab dengan dunia malam, bahkan sering
bergonta-ganti pasangan.
Satu
hal yang aku kagumi dari Poppy, bahwa dia begitu menghargaiku. Tak pernah dia
mengajakku pergi ke diskotek, menawariku rokok dan minuman, atau
memperkenalkanku dengan pria-pria kaya hidung belang. Sebaliknya, aku pun
selalu menghormati dan menjaga perasaannya. Aku tak pernah mencampuri
urusannya, mengomentari perbuatan jeleknya, atau menasihatinya agar
meninggalkan hal-hal buruk itu. Meskipun sering juga aku merasa miris dan ingin
menasihati Poppy.
“Kau
satu-satunya sahabat terbaikku, La! Setia kawan, jujur dan baik hati”, ujar
Poppy setelah menghabiskan rokok dan meneguk secangkir teh hangat yang aku
suguhkan padanya.
“Kau
tak ingin tahu tentang kehidupanku? Kau tak ingin bertanya, kenapa aku seperti
ini? Suka mabuk, rokok dan laki-laki?!” tanyanya tiba-tiba.
Aku
begitu tersentak kaget. Lagi-lagi aku tak bisa membuka mulutku. Aku hanya
tertegun, terdiam tanpa kata. Sementara Poppy menatapku penuh arti. Sepertinya
ia masih menunggu jawabanku. Sesaat kemudian, ia menyalakan lagi rokok yang
tinggal satu-satunya dalam bungkus berwarna merah tua itu.
“Dulu
aku seorang muslimah yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di masjid
kampungku. Hingga aku jatuh cinta pada seorang pria. Dia muslim yang taat,
pandai dan kuat agamanya. Kami berkenalan saat ada kegiatan Safari Ramadhan”,
tutur Poppy memulai ceritanya.
Dengan
penuh perhatian, aku mendengar ceritanya. Kuseret kursi tempatku duduk, lalu
kuarahkan lebih dekat lagi pada Poppy. Ia terlihat semakin bersemangat untuk
bercerita, setelah melihat aku yang begitu antusias mendengarkannya.
“Setelah
beberapa bulan perkenalan kami, aku semakin mengaguminya, semakin jatuh cinta
padanya. Kami pun menjalani hubungan yang serius. Dia laki-laki yang sholih,
baik hati dan tampan. Dia putra tunggal seorang kiai pemilik pondok pesantren
yang cukup besar dan terpandang di kampungku”, kenang Poppy.
Aku
masih memperhatikan dan mendengar ceritanya dengan baik. Tatapan mataku selalu
tertuju padanya, tak berpaling sedikitpun.
“Tapi
mungkin memang nasibku yang malang. Orang tuanya tak menyetujui hubungan kami.
Ibunya mengatakan bahwa aku tak pantas menjadi menantunya.”
“Kenapa
bisa begitu?”, tanyaku.
“Karena
aku bukan putri seorang kiai, karena orang tuaku tak memiliki pondok pesantren.
Aku begitu sedih, sakit dan patah hati. Kesedihanku semakin bertambah ketika
aku mendengar dia dijodohkan dengan putri seorang kiai pemilik pondok pesantren
di kampung tetangga. Aku benar-benar tak bisa terima, aku semakin pilu. Rasaya
aku mau mati saja”. Poppy tak mampu menahan air matanya. Ia membiarkan air itu
mengalir deras dari mata indahnya.
“Sejak
saat itu aku mulai membenci laki-laki. Bagiku, laki-laki itu makhluk yang
lemah, tak berpendirian, tak punya keberanian dan hanya bisa mempermainkan
perempuan. Aku sangat kecewa. Aku sangat benci laki-laki, aku sangat dendam
pada laki-laki, semua laki-laki!”, lanjut Poppy seraya mengusap setiap tetes
air matanya. Aku masih mendengarnya penuh perhatian.
“Aku
benar-benar tak sanggup melihat mantan kekasihku hidup dengan wanita lain.
Bagaimana aku bisa kuat melihat laki-laki yang sangat kucintai menjalin biduk
rumah tangga dengan wanita lain? Aku tak sanggup. Hal itulah yang membuatku
pergi ke kota ini. Kulampiaskan kekecewaanku pada alkohol dan rokok”. Poppy
kembali menyeka air matanya.
“Hingga
pada suatu hari, seorang laki-laki datang padaku. Aku tak lagi tertarik. Tapi
tiba-tiba timbul keinginan untuk bermain-main dengannya. Begitulah akhirnya aku
sering bergonta-ganti laki-laki yang aku permainkan. Aku punya uang dan para
lelaki itu pun tak segan-segan memberikan apapun yang ku mau. Aku tak hanya
berkencan dengan pria kaya. Bahkan laki-laki yang tak berduit, atau juga para
mahasiswa muda, semua pernah aku permainkan. Semua itu demi kepuasanku. Aku
akan merasa puas dan bangga setelah mempermainkan banyak pria!” Poppy menghela
nafas.
Angin
malam semakin dingin. Dinding-dinding rumah kost pun seakan beku. Tirai jendela
mulai menari-nari, bergerak tanpa henti karena tertiup angin.
“Tapi
pada suatu malam, saat aku bekencan dengan Seno, aku mabuk berat. Kami bermalam
di hotel. Malam itu pun aku lupa membawa pengaman, dan aku juga tak sadar bahwa
saat itu masa suburku. Setelah aku menjelaskan semuanya pada Seno, dia tetap
tak mau tahu dengan kehamilanku ini. Akhinya aku terkena karma”, sesal Poppy.
Air matanya tak berhenti mengalir.
“Sekarang
aku benar-benar ingin bertaubat, kembali jadi muslimah yang taat. Dan aku akan
membesarkan jabang bayiku ini” ucapnya mantap.
Keesokan
paginya, aku mempertemukan Poppy dengan Ustadz Zakaria. Guru mengajiku yang
bersedia membimbing Poppy bertaubat dan mengajarinya mengaji.
Poppy
telihat kaget, tegang dan tak mampu berkata-kata. Begitu pula Ustadz Zakaria.
Aku menjadi terheran heran, ada apa dengan mereka berdua. Ternyata Ustadz
Zakaria adalah mantan kekasih Poppy yang menikah dengan wanita lain. Laki-laki
yang mengecewakannya di masa lalu. Keduanya terlihat saling menatap dalam dan
penuh haru. Aku pun hanya mampu membatu...
*************
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KETIKA PEREMPUAN BERTAUBAT
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://ulashoim.blogspot.com/2012/03/cerpen.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5

0 comments:
Post a Comment