PENYESALAN
Sunday 3 February 2013
0
comments
Aku sungguh bahagia setelah berhasil membujuk suamiku untuk menjenguk ibu. Sudah lama
sekali kami tak bertemu ibu. Aku sudah tak sabar ingin melihatnya, mencium
tangannya dan mendengar ceritanya. Meskipun beliau cuma ibu mertuaku, tapi kami
sangat akrab. Ia sering menceritakan tentang diri dan masa lalunya padaku.
Cerita yang pertama kudengar darinya adalah peristiwa meniggalnya ayah
mertuaku, suaminya. Sejak suaminya meninggal, ibu mertuaku menjadi single parent sampai sekarang.
Ibu
mertuaku seorang wanita yang tegar. Ia wanita yang keibuan, penyayang dan
sabar. Ayah mertuaku meninggal karena kecelakaan saat anaknya masih berusia
lima tahun.
“Kalian
mau besuk Bu Nasifah? Dia sudah menunggu dari tadi.” , seorang nenek tua
menyambut dan menanyai kami di halaman depan taman nan rindang. Tangannya yang
penuh keriput dan bergetar-getar itu mencoba meraih tanganku. Segera kubalas
uluran tangannya dan menyalaminya dengan lembut.
“Terimakasih
Nek! Kami memang mau menjenguk ibu.”, jawabku ramah.
Suamiku
menarik lengan kiriku dengan paksa. Ia tak memberi tanggapan apapun atas
sambutan nenek tua itu pada kami. Ia bergegas mengajakku segera menemui ibu
didalam. Aku tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya seraya berusaha memberikan
senyuman termanisku pada nenek tua itu, sebelum kami meninggalkannya. Langkah
kamipun diikuti Amelia, putri kami yang baru berusia tujuh tahun.
“Akhirnya
kalian datang. Sudah lama kutunggu kalian!”, ujar Ibu yang mencoba bangkit dari
tempat duduknya di ruang tamu. Wajahnya sudah semakin renta. Rambutnya pun tak
ada lagi yang kehitaman. Badannya terlihat semakin kurus. Rasanya aku tak tega
membiarkannya hidup berlama-lama di tempat ini. Ingin rasanya aku membawanya
pulang dan aku rawat sendiri. Tapi suamiku selalu melarang keras. Baginya,
membiarkan ibu tetap berada di panti jompo adalah jalan terbaik buat kami.
“Ibu
semakin kurus! Maaf Bu, kami baru sempat datang sekarang!” ucapku setelah
menyalami dan mencium kedua pipinya yang hanya tinggal tulang berlapis kulit
itu.
“Tak
apa! Ibu senang kalian datang. Amelia sudah besar ya?”
Suamiku
tak menunjukkan reaksi apapun. Ia segera duduk di kursi tamu. Mengangkat kaki
kanan dan meletakkan di atas tumpuan kaki kirinya. Tatapan matanya hampa dan
terasa hambar.
“Amel
kangen sama eyang. Kapan eyang ke rumah Amel?” Kapan eyang main-main sama Amel lagi?”
Kami
bertiga terhentak dengan ucapan Amel. Aku hanya tertegun. Sementara suamiku
tetap duduk acuh di kursi. Pandangannya beralih pada ibu. Ia menatap ibu dalam.
Tapi tetap saja tak dapat kutangkap makna tatapan itu.
Dengan
bijak, ibu meraih tangan Amel, mengajaknya duduk bersebelahan dan menciumnya
dengan tulus. Kulihat beberapa tetes air keluar dari matanya yang sayu. Dengan
perlahan dan bergetar-getar, tangannya yang mulai keriput itu membelai rambut
Amel penuh kasih sayang.
“Eyang sayang sama Amel. Kapanpun Amel
mau, Amel bisa main sama eyang disini!”
“Eyang
banyak teman ya disini? Amel di rumah sendirian.”
“Amel
tidak sendirian, ada Mama, Papa, dan Bik Ijah. Eyang selalu mendoakan Amel, supaya Amel bahagia selamanya.”
“Eyang lebih suka tinggal sama
teman-teman eyang disini ya daripada
sama Amel?”
Lagi-lagi
aku terhentak. Rasanya tak kuat lagi aku berada di ruangan itu. Amelia masih
belum mengerti, apa itu panti jompo. Dan kenapa neneknya berada disitu.
“Kita
harus segera pulang Amel, eyang mau
istirahat!”, tiba-tiba suamiku memotong percakapan mereka.
“Tapi
Amel masih mau main sama eyang, Pa!”
“Kita
harus pulang, Papa harus kembali ke kantor. Ayo!”
Ibu
segera memeluk erat tubuh mungil Amel. Air matanya mengalir semakin deras. Aku
semakin tak tega melihatnya. Ibu seakan tak mau melepas Amel. Pelukannya
semakin erat. Dan isaknya semakin tak tertahankan. Tangannya yang masih
bergetar itu menyentuh dan mengelus kedua pipi Amel.
“Amel
tidak boleh nakal! Harus nurut sama Mama, sama Papa. Jaga Mama!”, tutur ibu
menasihati Amel dengan tulus dan penuh isak tangis.
“Kami
pamit dulu Bu! Ayo Amel, kita pulang!” suamiku menggapai tangan Amel dan
menuntunnya keluar.
Ibu
masih tak kuasa menahan isak tangisnya. Aku jadi semakin tak tega. Rasanya
ingin kubawa ia pulang bersama kami.
“Maafkan
kami Bu. Maafkan Maya, juga Mas Doni!” ucapku seraya memeluknya erat, sebelum
suara panggilan suamiku dari luar memisahkan kami.
Sepanjang
perjalanan pulang, pikiranku selalu tertuju pada ibu. Suamiku mengendarai mobil
dengan cukup kencang, tak ada percakapan antara kami. Sementara Amel telah
tertidur pulas.
Rutinitasku
di rumah tampaknya tak bisa mengalihkan perhatianku dari peristiwa di panti
jompo kemarin. Bahkan ketika aku sudah berada di kantor. Rasanya bayangan ibu
tak mau lepas dari benakku. Wajah perempuan yang semakin merenta itu sepertinya
ingin mengikutiku, kemanapun kakiku melangkah dan dimanapun kepalaku singgah.
Ibu mertuaku itu memang satu-satunya orang tua kami yang ada. Kedua orang tuaku
sendiri sudah lama meninggal, sebelum aku menikah dengan Mas Doni.
“Aku
benar-benar ingin merawat ibu disini, Mas! Kita bawa saja ibu pulang ke rumah
ini!”, aku membuka percakapan sebelum kami tidur.
“Keputusanku
sudah bulat! Ibu lebih baik di panti jompo. Toh aku mengirimkan uang setiap
bulan. Pengurus panti tak perlu kerepotan.”
“Tapi
aku tak tega melihat ibu disana. Amelia juga sangat merindukan eyangnya!”
“Kalaupun
ibu di rumah ini, tak ada yang bisa merawatnya. Kamu sendiri sibuk kerja dan
menemani Amel belajar di malam hari. Sedangkan Bi` Ijah harus mengurus rumah,
mengurus segala keperluan kita, dan mengurus Amel juga! Kamu masih ingat kan
Maya, dulu waktu ibu masih tinggal disini, kita kerepotan. Belum lagi kalau
sakit! Maagh, darah tinggi dan pikunnya itu sering membuat kita kewalahan.
Tinggal di panti jompo, itu jalan terbaik buat ibu dan kita. Aku tak mau
direpotkan lagi!”
“Jangan
ngawur ngomongmu Mas! Istighfar. Bagaimanapun, ia ibumu, yang merawatmu,
mendidikmu, sendirian. Bahkan sampai kau bisa berhasil seperti sekarang. Kau
tak boleh lupa, ibu rela menjanda setelah ditinggal ayah, hanya demi hidup dan
pendidikanmu. Kita harus mengabdi dan berterimakasih padanya!”
“Rasa
terimakasihku sudah cukup dengan mengirimi ibu uang tiap bulan. Ia tak kan
kekurangan di panti jompo itu!”
“Tapi
aku kasihan …
“Stop!!!
Aku tak mau membahas lagi. Besuk pagi aku ada sidang, aku harus istirahat
sekarang!”
Aku
hanya bisa menghela nafas panjang. Aku benar-benar tak tahu, apa yang ada dalam
pikiran suamiku. Aku tak yakin, membiarkan ibu di panti jompo adalah jalan
terbaik. Tapi kalau tinggal di rumah kami, tak ada yang merawat dan mengurus
ibu.
Kami
cuma punya satu pembantu, yang harus mengurus rumah dan segala keperluan
Amelia. Suamiku setiap hari di pengadilan negeri, berangkat pagi dan pulang
sore hari. Belum lagi kalau mau sidang, ia pasti sangat sibuk. Aku sendiri juga
harus bekerja, pagi sampai sore hari. Maklum, aku hanya sebagai karyawati di
sebuah perusahaan selular. Kalau hanya mengandalkan gaji suamiku, kami masih
kekurangan. Karena biaya hidup sekarang semakin meningkat.
Setiap
kali aku mencoba membahas masalah ibu mertuaku, suamiku selalu naik pitam.
Rasanya memang tak ada yang mampu merubah keputusannya itu. Sekalipun aku, atau
Amelia, putri kandungnya.
Selama
empat tahun ibu tinggal di panti jompo itu, kami sangat jarang menjenguknya.
Kunjungan kamipun bisa dihitung dengan jari. Suamiku sangat sibuk, aku jadi tak
bisa memaksanya menjenguk ibu.
Tiga
bulan lebih kami tak membesuk ibu di panti. Tiba-tiba pengurus panti jompo
memberitahu kami lewat telepon, ibu sakit dan sangat mengharap kehadiran kami.
Aku memaksa suamiku pergi. Aku tiba-tiba sangat mengkhawatirkan keadaan ibu.
Lagi-lagi suamiku sibuk dan menunda kepergian kami. Aku tak mampu berbuat
apa-apa. Terpaksa aku turuti kemauan suamiku, menunda kepergian kami ke panti,
setidaknya sampai minggu depan.
Aku
benar-benar tak mengerti, suamiku begitu larut dalam kesibukannya. Bahkan tak
meluangkan sedikit waktu menjenguk ibu. Ia melarangku pergi sendiri ke panti
itu. Aku tak berdaya, aku jadi dilema.
Keinginanku
mengunjungi ibu mertuaku begitu kuat. Tapi akupun tak mampu melawan suamiku,
tak bisa mengabaikan larangan kerasnya untuk pergi sendirian menjenguk ibu.
Kami jadi sering beradu mulut. Pertengkaran akhirnya sering tejadi antara kami,
karena aku ingin menjenguk ibu sendirian.
“Pak,
ada telepon dari panti jompo!”, Bi’ Ijah memecah ketegangan kami di meja makan
sewaktu sarapan pagi.
Tanpa
berkata apapun, suamiku segera menuju ruang tengah dan menerima telepon. Hatiku
berdebar-debar, semakin lama semakin kencang. Pikiranku tertuju pada ibu.
Beberapa menit berselang, suamiku muncul lagi di ruang makan, mengajak aku dan
Amelia ke panti jompo.
“Kami
ikut berduka, Pak! Ibu Nasifah pergi mendadak. Waktu kami memanggil Ibu Nasifah
untuk sarapan, beliau tidak memberi jawaban. Akhirnya kami mendobrak pintu
kamarnya, ternyata beliau sudah tidak bernafas. Kami mohon maaf, Pak, Bu!”
tutur salah seorang pengurus panti.
Hatiku
hancur, sedih. Air mataku pun tak dapat dibendung. Aku begitu menyesal, kenapa
aku tak mampu melawan larangan suamiku. Kenapa aku tak mencoba pergi menjenguk
ibu mertuaku itu tanpa harus pamit pada suamiku. Aku sungguh menyesal, sangat
menyesal.
Tapi
ketika kulihat suamiku, penyesalanku yang mendalam ini rasanya belum apa-apa.
Mas Doni terlihat menyimpan penyesalan yang lebih dalam dariku. Aku yakin
benar, orang yang paling menyesal dan merasa bersalah adalah suamiku.
***********
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PENYESALAN
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ulashoim.blogspot.com/2013/02/penyesalan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment