selamat berkunjung di lautan hati,
tempat berbagi, menyelami, memberi
...
just have fun.



Membaca Nalar Kritis Sang Feminis

Posted by Lautan Hati Oela Friday 20 April 2012 0 comments

Lahir di tengah budaya patriarki senyatanya telah menjadikannya sosok yang penuh semangat, mengusung perjuangan hak untuk kaumnya. Praktis, hal itu membuat banyak orang menjadi terheran; bagaimana bisa, perempuan yang lahir di tengah-tengah kultur patriarki memiliki pemikiran yang modern dan kritis? Banyak orang tidak menyadari, bahwa dengan keberadaannya –yang dibesarkan di tengah kultur Jawa yang kental dengan stigma dan dogma patriarkat— malah membuatnya memiliki semangat baja untuk berjuang melawan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

clip_image002[26]

Dialah Raden Ajeng Kartini, yang sontak menggegerkan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena kegigihannya memperjuangkan hak-hak perempuan. Dilahirkan di Jepara pada 21 April 1879, putri dari pasangan Raden Mas Sosroningrat (bupati Jepara) dan M.A. Ngasirah ini senyatanya berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Sungguhpun demikian, keadaan yang mengharuskan untuk dipingit ternyata tidak menyurutkan semangat Kartini untuk terus belajar. Di rumah, ia semakin rajin membaca dan mengkaji berbagai literatur berbahasa Belanda. Buku, koran dan majalah Eropa dilahapnya tuntas. Dari situlah Kartini akhirnya tertarik dengan kemajuan pola pikir perempuan Eropa, hingga akhirnya timbul keinginan untuk memajukan perempuan pribumi, di mana kondisi sosial saat itu, perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini juga sering menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon, yang banyak mendukungnya.

Esensi Hakiki Feminisme Kartini

Tak dapat dipungkiri, kemunculan teori dan gerakan feminisme senyatanya menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat kita. Pada dasarnya, feminisme berasal dari bahasa Latin; femina atau perempuan. Dan, umumnya Feminisme dimaknai sebagai suatu kesadaran akan sebuah ketidakadilan, penindasan, pemerasan dan diskriminasi perempuan dalam masyarakat, yang kemudian diikuti oleh tindakan sadar laki-laki dan perempuan untuk mengubah keadaan tersebut.

Karena terdapat perbedaan dalam menganalisa terjadinya ketidakadilan serta diskriminasi tersebut, maka feminisme menelurkan berbagai aliran, di antaranya: Feminisme Liberal yang menginginkan persamaan-kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Aliran ini berkeinginan agar perempuan memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Perempuan harus menyadari dan menuntut hak-haknya sampai laki-laki tersadar, sehingga terbentuk suatu masyarakat baru yang di situ perempuan dan laki-laki bekerja sama atas dasar kesetaraan. Kemudian Feminisme Radikal, yang dikenal sebagai gerakan perempuan yang memperjuangkan realita seks. Aliran ini menyatakan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Dan, tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Ada pula Feminisme Marxis yang berpandangan bahwa ketertinggalan yang dialami perempuan itu disebabkan oleh struktur sosial, politik, dan ekonomi, terkait sistem kapitalisme; dan kesempatan perempuan untuk sama dengan laki-laki akan mustahil terwujud jika mereka tetap hidup dalam masyarakat berkelas. Lantas juga Feminisme Sosialis yang berjuang untuk menghapus sistem pemilikan. Menurut aliran ini, lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta, dan pemilikan suami atas istri harus dihapus sehingga dapat tercipta suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Begitulah sebagian kecil aliran Feminisme yang pernah berkembang, yang senyatanya masih ada beberapa aliran feminisme modern dan postmodern lainnya.

Sedangkan Feminisme Kartini sendiri –yang merupakan sintesis dari budaya patriarki dan feminisme barat— penekanannya berada pada budaya ‘breakthrough’, yang diperjuangkan saat kultur patriarki dilegalkan oleh budaya maupun otoritas politik. Kartini menginginkan adanya solusi atas keadaan yang terjadi, bahwa perempuan tidak memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan. Feminisme Kartini lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan, dan kebebasan bagi perempuan untuk berpendapat dan mengeluarkan pikiran.

Dengan kritis, Kartini menyerukan bahwa perempuan berhak atas kesempatan untuk berpendidikan. Kartini yang menikah dengan Bupati Rembang, senyatanya mengajarkan terciptanya peningkatan harkat dan martabat perempuan, menuntut hak-hak dasar perempuan —hak untuk mempunyai kehidupan ekonomi yang layak, hak bersosialisasi, hak untuk berpolitik dan hak untuk memperoleh pendidikan– yang memang menjadi bagian terpenting dari diri perempuan sendiri. Beruntung, sang suami mengerti dan mendukung Kartini untuk membuka sekolah bagi perempuan, yang terletak di kompleks kantor bupati. Disekolah itu, Kartini mengukir sejarah pendidikan bagi kaumnya.

Sejatinya, Kartini tidak hanya memperhatikan permasalahan perempuan. Tapi lebih dari itu, Kartini juga membahas dan menyoroti masalah sosial umum. Terbukti, dalam buku kumpulan suratnya, ‘Aku menginginkan Feminisme dan Nasionalisme’, Kartini banyak membicarakan masalah sosial, budaya, agama. Kartini melihat bahwa perjuangan perempuan untuk memiliki kebebasan, otonomi dan persamaan hukum adalah sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas. Begitulah, inti dari feminisme Kartini yang tidak hanya melulu pada persoalan perempuan. Hal ini kemudian sejalan dengan konsep feminisme, yang sejatinya merupakan upaya mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang adil –bagi perempuan dan laki-laki.

Quo Vadis Ruh Feminis

Kini, setelah perjuangan dan gerakan Kartini yang mengusung tercapainya hak-hak dasar perempuan, maka sudah selayaknya upaya tindak lanjut senantiasa tercipta. Permasalahan yang penting untuk diperhatikan kemudian adalah, apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya, dan hasrat untuk memperbaiki citranya telah benar-benar terwujud dalam diri perempuan?

Tanpa harus mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika wacana feminisme menjadi keharusan yang niscaya dalam suatu peradaban bangsa, maka feminisme ala Kartini menjadi sebuah alternatif efektif, sebagai mobilisator perempuan masa kini, hingga benar-benar tercipta sistem sosial yang tidak lagi diskriminatif dan jauh dari bias gender.

Akhirnya, pertanyaan paling mendasar bagi perempuan masa kini, sudah tergerakkah untuk mendapatkan hak-hak dasarnya? Masihkah bersemangat untuk berupaya mendapatkan akses pendidikan yang memadai, tanpa melupakan kodrat dan peran perempuan sejatinya? Karena, kaum perempuan tetap harus mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi dan mencipta sumber daya manusia yang potensial. Selamat berjuang, Kartini masa kini!   

*****

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Membaca Nalar Kritis Sang Feminis
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ulashoim.blogspot.com/2012/04/membaca-nalar-kritis-sang-feminis.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 comments:

Post a Comment

Cara Buat Email Di Google | Copyright of Lautan Hati Oela.