selamat berkunjung di lautan hati,
tempat berbagi, menyelami, memberi
...
just have fun.



HANYA SEBUAH MIMPI

Posted by Lautan Hati Oela Friday 27 April 2012 0 comments

 

Aku selalu mengutamakan belajar di atas kepentingan atau kegiatan yang lainnya. Bahkan di saat teman-temanku mengajak untuk bermain dan sekedar refreshing, aku pun tak segan-segan untuk menolaknya dengan halus. Aku sering membuat alasan yang bisa masuk di akal dan sebisa mungkin membuat mereka tidak membenciku, atau akan mengolok-olok ku karena kutu buku, karena kerjanya hanya belajar saja. Keputusanku untuk mengutamakan belajar semata-mata untuk masa depanku, bukan maksud untuk sok bijak, sombong, sok rajin, atau yang lain-lainya.

Belajar aku anggap sebagai kewajiban mutlak bagiku, kapan pun itu. Bahkan di saat aku lelah setelah membantu pekerjaan ibu di rumah atau menjaga kios bensin milik ayah. Meskipun aku merasa letih, sebisa mungkin aku mengupayakan diri untuk tetap belajar. Semua itu aku lakukan demi menggapai masa depan yang cerah.

Jujur, aku ingin membanggakan orang tuaku, aku sangat ingin masuk perguruan tinggi negeri yang bonafide, lulus dengan hasil yang maksimal serta cepat mendapatkan pekerjaan, sehingga orang tuaku akan merasa tidak sia-sia membiayai pendidikanku. Maklumlah, orang tuaku bukan golongan orang berada atau kaya, ekonomi keluarga kami sangat pas-pasan. Ayahku sebagai buruh pabrik dan membuka kios bensin yang kecil di depan rumah, sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa, tanpa karier yang mapan.

“Pulang sekolah nanti kita mampir ke mall yuk, sekalian nonton. Aku sudah ada info film terbaru nih!”, Anita membuka percakapan di tengah-tengah kami sewaktu istirahat. Aku hanya terdiam, sementara teman-temanku yang lain tampaknya menyambut perkataan Anita dengan begitu antusias.

“Ide yang brilian itu. Aku sepakat”. Ramon segera menjawab dengan mengacungkan kedua jempol tangannya ke arah Anita.

Oke lah kalau begitu, aku setuju!” Anton menimpali. “Yang lain bagaimana?” Tanyanya kemudian padaku dan dua temanku yang lain. Kami berenam memang selalu bersama, teman-teman satu sekolah pun hampir semuanya menghafal kebiasan kami yang selalu berkumpul di waktu istirahat.

“Wah, kalau aku dan Dina mah pasti sangat mau, tapi kantongku lagi kering nih!” keluh Bagas. Dia memang anak yang super irit di antara kami berenam. Dia lebih suka menerima ‘asupan’ dari orang lain ketimbang harus merogoh koceknya sendiri. Kami berenam pun memahami hal itu, dan kami memakluminya. Mungkin karena memang dia anak yang kondisi ekonomi keluarganya paling miris di antara kami.

“Nggak perlu khawatir kalau masalah itu, biar aku dech nanti yang tanggung. Aku traktir kalian semua, nonton, main game, makan dan jalan-jalan lah tentunya. Mumpung mobilku lagi nganggur!” sahut Ramon dengan santainya. Ramon memang anak yang paling kaya di antara kami, Papanya seorang pengusaha real estate terkemuka dan Mamanya pejabat negara. Ramon sangat suka berfoya-foya, bahkan tidak jarang dia mentraktir kami makan siang di kantin sekolah. Ramon sangat suka menghambur-hamburkan uang demi mendapatkan kesenangan, membeli semua barang-barang yang dia suka dan apapun yang dia inginkan. Pakaian dan barang-barang pribadinya semua ‘branded’, mahal-mahal tentunya. Tapi yang kami suka dari Ramon adalah sifat dermawannya. Dia suka memberi dan tidak segan-segan membantu kami saat kami ada masalah keuangan. Dan tentunya, Ramon lah yang sangat sering membayar makan siang kami di kantin sekolah.

“Yah, jawaban itu yang selalu aku tunggu dan selalu membuatku ingin terus memujimu Ramon! Thanks a lot!!” Bagas menyambut tawaran Ramon dengan berbunga-bunga. Sebetulnya kami semua sudah paham maksud dan arah pembicaraan Bagas dari tadi. Bagas memang satu-satunya orang yang tidak pernah segan atau enggan untuk menerima tawaran bantuan dari orang lain, apalagi kalau menyangkut masalah keuangan, jajan dan makanan, atau sekedar kebutuhan kesenangan. Sepertinya semua kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya lebih banyak mengandalkan asupan bantuan dari orang lain.

Never mind. Aku sudah paham kok maumu!” sindir Ramon. Bagas hanya tersenyum simpul tanpa rasa malu sedikit pun. “Bagaimana dengan kamu Friska, pasti ikut dong nanti?” tanyanya kemudian padaku.

Lagi-lagi aku mencoba menolak dengan halus ajakan mereka. “Sorry kawan-kawan, nanti aku harus menjaga kios bensin. Lagi pula, bukannya bulan depan kita sudah ujian nasional, jadi kita harusnya belajar lebih rajin biar bisa lulus dengan hasil yang maksimal terus bisa masuk universitas negeri bonafide!?” jawabku hati-hati.

“Sudah aku duga sebelumnya! Pasti jawabanmu seperti itu, dan ternyata dugaanku tepat!” ujar Anita.

“ Friska! Sekali-kali dong kamu luangkan waktu untuk bermain-main dan enjoy dengan kami. Kalau masalah Unas dan ujian masuk universitas negeri, itu masalah gampang, bisa diatur besuk-besuk. Yang penting sekarang kita have fun!” sergah Ramon. Aku hanya terdiam dan tetap dengan pendirianku untuk menolak ikut dengan mereka. Untuk kesekian kalinya aku menolak ajakan mereka, dan untuk kesekian kalinya pula aku mengingatkan mereka untuk lebih serius lagi dalam belajar. Seperti biasa, mereka tidak mengindahkan saran dan ucapanku, bahkan mereka lebih memilih meninggalkanku sendiri.

Aku menyadari, aku dan mereka berbeda dalam berbagai hal, terutama masalah prinsip. Mereka lebih suka mengandalkan kesenangan dan kepuasan semu, sementara aku lebih berusaha untuk pikir panjang dan penuh pertimbangan dalam mengambil setiap langkah, apalagi menyangkut masalah pelajaran dan pendidikan. Aku selalu ingat dengan impianku untuk lulus sekolah dan bisa masuk universitas negeri. Jadi, sebisa mungkin aku berupaya untuk belajar lebih giat lagi demi meraih impianku itu. Aku sangat ingin membuat orang tuaku bangga.

Setiap jam istirahat, kami selalu berkumpul berenam di meja kantin paling pojok. Semua penghuni kantin pun hafal. Tidak sedikit dari mereka yang rela meninggalkan meja pojok itu saat kami berenam mulai muncul di depan pintu kantin. Bahkan sering juga meja itu sengaja dibiarkan kosong, seperti menanti penghuni tetapnya. Bu Inah, pengelola kantin sekolah pun memahami kalau kami berenam sangat suka duduk bersama di meja pojok. Bu Inah selalu mengingatkan setiap anak yang akan menempati meja pojok itu. “Sebentar lagi yang mpunya meja akan datang, kalian pindah cari meja lain saja” ujarnya setiap ada anak yang mendahului kami menempati meja itu. Alhasil, meja itu selalu siap menanti kedatangan kami berenam.

Sebenarnya aku sendiri merasa tidak enak dengan hal itu, apalagi perlakuan Bu Inah kepada kami berenam cukup istimewa. Semua ini karena Ramon. Bu Inah memandang kami karena Ramon anak dari pengusaha kaya dan pejabat negara. Bahkan Ramon sendiri sering membantu Bu Inah dalam hal uang. Tapi tetap saja aku merasa tidak enak mendapat perlakuan seperti itu dari Bu Inah. Ia membedakan kami dengan siswa-siswa yang lain, hanya karena kami teman akrabnya Ramon.

Tidak hanya Bu Inah yang memperlakukan Ramon dengan istimewa, tetapi juga hampir semua guru di sekolah, terutama kepala sekolah. Itu wajar saja, karena Ramon anak dari orang yang berpengaruh dan ‘beruang’, jadi dengan mudah pihak sekolah meminta bantuan pada orang tua Ramon, baik dalam hal pendanaan, atau masalah perijinan kegiatan dan lain-lain.

“Ramon, tolong sampaikan ucapan terima kasih saya kepada orang tuamu, Nak!’ ucapan bapak kepala sekolah yang paling sering kudengar setiap kali usai acara pertemuan wali murid dan komite sekolah. Entah apa yang telah diperbuat orang tua Ramon. Yang jelas, kepala sekolah hanya mengatakan hal itu kepada Ramon saja, padahal yang ikut hadir pada acara pertemuan wali murid dan komite sekolah itu bukan hanya orang tua Ramon.

“Iya Pak, nanti saya sampaikan!” Ramon selalu menjawab demikian dengan seuntai senyum manis menghias dibibirnya.

Dengan keadaan Ramon yang seperti itu, aku tidak heran jika dia selalu mendapat perlakuan istimewa dari kepala sekolah, beberapa guru bahkan ibu pengelola kantin sekolah. Hanya guru yang disiplin dan sangat menghargai murid yang pandai saja yang tidak berlaku demikian pada Ramon. Maklum lah, Ramon bukan anak yang pandai atau cerdas. Dia hanya siswa yang biasa-biasa saja dalam hal intelektual, bahkan kemampuannya di bawah rata-rata. (Aku menghargainya untuk tidak mengatakan dia bodoh).

Setiap ada pekerjaan rumah atau ujian, Ramon selalu mengandalkan aku dan teman-temanku yang lain. Terutama Bagas, dia akan bersedia membantu Ramon dengan senang hati karena selalu mendapatkan imbalan yang fantastis. Ramon sering membelikan kemeja bermerk dan alat-alat elektronik lainnya. Terakhir, aku melihat Ramon memberi Bagas seperangkat PS2 karena telah mengerjakan tugasnya.

Selain tidak pandai, Ramon juga anak yang malas untuk belajar. Dia selalu meremehkan semua mata pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan guru. Bahkan saat menjelang Ujian Nasional pun, Ramon masih enggan belajar. “Malas ah, nanti saja lah aku belajarnya!” jawab Ramon setiap kali aku mengajaknya belajar. Sudah sangat sering aku mengingatkannya untuk belajar dan mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional serta ujian masuk perguruan tinggi, tapi dia selalu tak menghiraukanku. Akhirnya aku menyerah, terserah dia saja. Yang penting, sebagai teman, aku sudah berusaha mengingatkannya.

“Selamat ya, akhirnya kita lulus semua. Sebentar lagi kita akan jadi mahasiswa lho!” ucap Anita dengan bangganya. Kami semua menyambut dengan suka cita. Kami berenam memang lulus semua dengan nilai yang cukup baik, kecuali Ramon. Dia lulus dengan nilai yang pas-pasan, paling rendah di antara kami berenam. Tapi itu tak jadi soal baginya, karena cukup banyak juga teman-teman kami satu sekolah yang terpaksa harus mengulang ujian nasional lagi alias belum lulus di tahap pertama. Jadi Ramon cukup tenang dan bangga saja.

“Alhamdulillah, kita lulus. Tinggal bagaimana kita belajar untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi nih!” seru Dina. Aku pun mengamininya, menganggukkan kepalaku tanda setuju dengan perkataannya.

Setelah pengumuman lulus itu, kami semua belajar intens di rumah Anita untuk mempersiapkan diri dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri. Kami semua datang, kecuali Ramon. Dia satu-satunya anak yang paling tenang dan santai, dia masih saja malas belajar seperti biasa. Kami pun memakluminya, terutama aku. Karena aku tahu betul sifatnya yang pemalas itu.

Hari yang paling ditunggu pun tiba. Pagi itu aku memburu surat kabar yang memuat pengumuman kelulusan seleksi mahasiswa perguruan tinggi negeri. Segera aku bolak-balik surat kabar itu halaman demi halaman. Kucermati setiap nama yang ada di dalamnya. Dengan lebih membuka mata lebar-lebar, kupelototi surat kabar itu. Dari atas sampai bawah, samping kanan dan kiri, hingga halaman berikutnya dan berikutnya lagi. Aku masih tetap mencari namaku di sana. Ternyata namaku tak kunjung kutemukan. Astaghfirullah, ternyata aku harus menelan ludah kekecewaan karena tidak lulus penjaringan mahasiswa perguruan tinggi negeri tahun ini. Orang tuaku berusaha menghiburku.

Seketika Ramon datang menghampiriku di rumah, dia tersenyum bangga karena namanya terpampang di pengumuman seleksi mahasiswa di surat kabar itu. Aku tersenyum seraya mengucapkan selamat padanya.

“Aku sudah belajar dengan sungguh-sungguh, ternyata masih belum lulus juga. Kamu hebat Ramon, belajar saja malas, tapi bisa lulus dan diterima di universitas negeri yang bonafide!” ujarku terus terang dan tanpa basa- basi lagi.

“Kamu mengandalkan otak, sedangkan aku mengandalkan uang!” jawabnya dengan ringan tanpa beban.

Ternyata, untuk bisa masuk dan diterima di universitas negeri yang bonafide hanya sebuah mimpi indahku saja, anak dari seorang buruh yang bisanya mengandalkan otak, tak bisa mengandalkan uang. Astaghfirullah…..

*************

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: HANYA SEBUAH MIMPI
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ulashoim.blogspot.com/2012/04/hanya-sebuah-mimpi.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 comments:

Post a Comment

Cara Buat Email Di Google | Copyright of Lautan Hati Oela.