selamat berkunjung di lautan hati,
tempat berbagi, menyelami, memberi
...
just have fun.



DIA

Posted by Lautan Hati Oela Friday 28 December 2012 0 comments



Dia yang lebih tahu diriku
Dia yang lebih tahu apa yang kubutuh
Dia yang lebih tahu, mana yang baik untukku
Dia yang lebih tahu tentangku
Dia yang lebih tahu pribadiku
Dia yang lebih tahu
Hanya Dia
Dia yang lebih tahu
Dia yang paling tahu
Bahkan apa yang ada dalam hatiku pun
Dia yang lebih tahu
Dia yang paling tahu
Lantas apa lagi yang harus kurisau
Bahwa Dia akan memegang kendali hidupku
Namun picikku
Betapa sulit kusadari
bahwa Dia lebih dekat
dari urat leherku sendiri


Baca Selengkapnya ....

Metamorfosa Manajemen Pendidikan Islam

Posted by Lautan Hati Oela Wednesday 26 December 2012 0 comments

 

Salah satu faktor yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan Islam serta terealisasinya pendidikan yang ideal adalah manajemen pendidikan Islam. Tidak berbeda dengan manajemen pendidikan nasional, dalam tubuh manajemen pendidikan Islam pun mengalami metamorfosa, kendati dalam manajemen pendidikan Islam belum terdapat suatu konsep yang baku. Justru karena umat Islam selalu dirangsang untuk mencari, menggagas dan menerapkan konsep pendidikan serta konsep manajemen pendidikan yang paling ideal, maka pendidikan Islam dan manajemennya pun akan senantiasa berkembang, tidak hanya berjalan statis, namun terus dinamis serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi. Kalaupun pada saat ini konsep manajemen pendidikan Islam masih mengikuti konsep manajemen pendidikan nasional, maka hal ini dirasa cukup ideal, setidaknya untuk saat ini. Namun bukan berarti, ideal untuk saat ini akan ideal untuk nanti dan selamanya, justru akan terus berkembang dan berubah untuk menuju yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Dengan adanya perkembangan pada manajemen pendidikan Islam itu pun akhirnya dapat menunjukkan bahwa pada dasarnya manajemen pendidikan Islam pun mengalami metamorfosa. Adanya metamorfosa manajemen pendidikan Islam sendiri dapat dibaca dari hierarki manajemen pendidikan Islam yang secara umum berlaku sebagai berikut:

a. Manajemen sentralisasi;

Sentralisasi adalah suatu kebijakan pengelolaan yang menekankan uniformitas (keseragaman) atau terpusat pada satu titik. Manajemen sentralisasi pada pendidikan dapat diartikan suatu sistem pengelolaan lembaga pendidikan yang bersifat terpusat pada satu kekuasaan atau pemerintahan. Umumnya manajemen sentralisasi berlaku pada lembaga pendidikan negeri atau swasta yang berada di bawah naungan pemerintah.

Pendekatan manajemen pendidikan sentralistik mempunyai posisi yang sangat strategik dalam pengembangan kehidupan serta kohesi (keterpaduan) nasional. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang sifatnya menyeluruh dan menyimpan beragam jenis perbedaan, diperlukan kesatuan arah persepsi dan tujuan. Maka dari itulah, merupakan satu kesalahan ketika perkembangan terbaru dalam permasalahan pendidikan seluruhnya diletakkan dalam kerangka desentralisasi. Tanpa adanya sentralisasi yang bersifat fundamental, maka perkembangan desentralisasi hanya akan melahirkan permasalahan baru yang krusial, dan salah satu dampak desentralisasi adalah kesenjangan serta ketidakadilan pemerataan pendidikan dalam arti luas.

Pendidikan Islam yang merupakan subsistem pendidikan nasional pada kenyataannya juga pernah mengalami dan memberlakukan manajemen sentralisasi sehingga semua kebijakan berpusat pada pemerintah pusat. Di antara salah satu kelemahan sistem pendidikan sentralisasi adalah manajemen pendidikan di daerah umumnya memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, terutama berhubungan erat dengan sumber daya, pendanaan maupun pengembangan sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Sedangkan kelebihan sistem ini adalah keterpaduan arah, tujuan dan pemerataan pendidikan.

b. Manajemen Desentralisasi

Seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang diikuti dengan otonomi pendidikan serta desentralisasi pendidikan, sistem manajemen pendidikan ikut menjadi desentralisasi. Tak terkecuali pada manajemen pendidikan Islam, yang juga menjadi desentralisasi mengikuti kebijakan pendidikan nasional. Berubahnya manajemen pendidikan Islam yang semula sentralistik menjadi desentralisasi setidaknya telah menjadi satu bukti bahwa benar-benar terdapat suatu metamorfosa dalam manajemen pendidikan Islam.

Desentralisasi mengandung pengertian pelimpahan kekuasaan dan wewenang lebih luas dari pemerintah pusat kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusan. Desentralisasi manajemen pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan (manajemen) dalam pendidikan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pendidikan. Umumnya, sistem manajemen desentralisasi dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta non pemerintah, namun dewasa ini kebijakan desentralisasi telah berlaku secara menyeluruh.

Dalam sistem pendidikan nasional, desentralisasi yang dimaksud bukan berarti desentralisasi-otonomi penuh, tetapi tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Dalam konteks nyata, putusan untuk memberi otonomi kepada daerah didorong oleh tuntutan pembangunan nasional yang semakin meningkat dan kompleks, sehingga meminta penanganan yang lebih efisien dan mengikutsertakan masyarakat dalam mengambil keputusan, dalam merencanakan, melaksanakan serta pertanggung jawaban atas pembangunan di daerahnya. Termasuk juga dalam bidang pendidikan.

Manajemen pendidikan yang menjadi desentralisasi telah mendorong lahirnya konsep manajemen pendidikan yang memberikan kewenangan penuh pada lembaga pendidikan untuk mengelola sendiri rumah tangganya dengan peran serta masyarakat, tanpa mengabaikan kebijakan-kebijakan pendidikan nasional. Konsep manajemen pendidikan tersebut dewasa ini populer dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah atau Sekolah Berbasis Masyarakat. Dalam konteks pendidikan Islam, khususnya pada lembaga pendidikan

pesantren ataupun sekolah-sekolah Islam), Manajemen Berbasis Sekolah atau Sekolah Berbasis Masyarakat hakikatnya adalah indigenous dan alami. Sebab kebanyakan lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil kerja masyarakat sendiri, hidup dan berkembangnya tergantung pada masyarakat. Kebijakan desentralisasi atau otonomisasi pendidikan pada Manajemen Berbasis Sekolah atau Sekolah Berbasis Masyarakat merupakan dukungan argumentasi ilmiah bagi keberadaan lembaga pendidikan Islam.

Dalam operasionalnya, tentu harus ditetapkan hal-hal mana yang menjadi sistem manajemen sentralisasi atau desentralisasi. Faktor terpenting yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan mana yang masuk sistem manajemen pendidikan yang harus sentralisasi atau desentralisasi adalah tingkat cakupan atau kepadatan fungsi (peranan) sistem manajemen. Manajemen yang mencakup banyak aspek atau unsur yang bersifat fundamental dilakukan, berbasis sentralisasi. Manajemen yang mencakup sedikit aspek atau unsur dan dalam hal-hal tertentu bersifat operasional teknis maupun bersifat parsial dimasukkan dalam manajemen berbasis desentralisasi. Sedangkan sebagai penjembatan di antara keduanya maka diterapkanlah manajemen fungsional.

c. Manajemen Fungsional

Keberadaan manajemen pendidikan sentralisasi dan desentralisasi mendorong lahirnya suatu penjembatan di antara kedua manajemen tersebut, yakni manajemen fungsional. Manajemen pendidikan yang fungsional ini diartikan sebagai suatu sistem manajemen yang menetapkan keputusan pengelolaan berdasarkan fungsi dan peranannya. Sistem manajemen ini mungkin desentralisasi ketika masuk dalam wilayah konkret dan mungkin juga bersifat sentralisasi ketika memasuki wilayah teoritis.

Segala keputusan kebijakan dalam sistem manajemen fungsional ini ditetapkan berdasarkan fungsi, peranan atau pengaruhnya terhadap perubahan tata kemasyarakatan, juga berdasarkan tuntutan terhadap kebutuhan tenaga kerja dan ideologi lembaga pendidikan.

Manajemen fungsional diukur berdasarkan peran dan fungsinya bagi kompleksitas kehidupan manusia. Dalam konsep manajemen fungsional, lembaga pendidikan Islam juga dituntut untuk tetap mempertimbangkan faktor efektivitas dan efisiensi suatu jenis pekerjaan.

Demikianlah suatu metamorfosa dalam manajemen pendidikan Islam yang tidak berbeda jauh dengan manajemen pendidikan nasional. Pada pra reformasi masih berlaku manajemen sentralisasi dan akhirnya di masa reformasi telah berubah menjadi manajemen desentralisasi yang kemudian sebagai penjembatan antara keduanya –sentralisasi dan desentralisasi- adalah manajemen fungsional.

************


bacaan lanjutan:

Tilaar ,H. A. R.1999. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya,

Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Imam Tolkhah, Ahmad Barizi, 2004. Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Baca Selengkapnya ....

outline

Posted by Lautan Hati Oela Thursday 8 November 2012 0 comments

REVOLUSI BELAJAR
(Optimalisasi Kecerdasan melalui Pembelajaran Berbasis Mutiple Intelligences)

Belajar dan pembelajaran
Memahami Konsep dasar belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar
Gaya dan tipologi belajar; visual, audiotori dan kinestetik
Teori-teori belajar dari para pakar
Kesulitan belajar dan altrenatif solusinya
Konsep dan makna pembelajaran
Model Pembelajaran yang inovatif, bermakna dan beragam
Multiple intelligences by Howard Gardner
Inteligensi dan faktor yang mempengaruhinya
Mengenal lebih dalam konsep multiple intelligences
Mengasah dan mengaktifkan multiple intelligences
Kecenderungan aktifasi multiple intelligences yang tidak menyeluruh
Inteligensi yang lumpuh dan terabaikan
Pembelajaran konvensional dan plus minusnya
Pola pembelajaran konvensional-klasik, konservatif
Dampak positif penerapan pola pembelajaran konvensional
Dampak negatif pola pembelajaran konvensional
Revolusi pembelajaran; sebuah tuntutan dalam pendidikan
Multiple intelligences dalam dunia pendidikan
            Urgensi multiple intelligences dalam dunia pendidikan
Sinkronisasi multiple intelligences dan pembelajaran
            Ketika kecerdasan yang aktif tak lagi majemuk
Mengasah multiple intelligences melalui proses pendidikan
Pembelajaran berbasis multiple intelligences
Multiple Intelligences dan Perubahan Paradigma Pembelajaran
Multiple intelligences dan Pengelolaan Kelas
Multiple intelligences dan Tipologi Belajar
Multiple intelligences dan Aktivitas Belajar
Multiple intelligences dan Evaluasi Belajar
Melatih dan mengembangkan multiple intelligences didalam kelas

Baca Selengkapnya ....

Membingkai Harapan Bagi Kota Seribu Taman

Posted by Lautan Hati Oela Saturday 20 October 2012 0 comments

(Suatu Progress Analitik Terhadap Raperda KTR Kota Probolinggo)

 

kota probolinggo

Kali ini, rasanya tak berlebihan jika sepercik kekaguman tertuang untuk Pemerintah Kota Probolinggo. Betapa tidak,  Dinas Kesehatan Probolinggo menganggarkan sejumlah 822,5 juta untuk menanggulangi dampak rokok. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa Pemerintah Kota Probolinggo concern pada permasalahan kesehatan dan lingkungan.

Menapaki usia ke 653, kota Probolinggo nampak berusaha melaju menuju kematangannya. Meski masih menyisakan berbagai permasalahan pelik dalam perjalanan usia, kota penghasil mangga ini tetap saja anggun mencari solusi atas setiap isu publik yang melanda. Tak hanya dalam ranah pendidikan, namun juga kebudayaan, kesehatan dan bahkan lingkungan; kota Probolinggo nampak terus meningkatkan kualitas dirinya.

Terkait permasalahan rokok, bukan hanya Dinas Kesehatan Kota yang mengerahkan beberapa upayanya. Lebih dari itu, Komisi A DPRD Kota Probolinggo tengah menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok. Bahkan dalam proses pematangan Raperda tersebut, DPRD rupanya meluangkan waktu khusus untuk berguru ke kota Malang dan Kabupaten Tulungagung. Mengingat bahaya dan manfaat dari rokok, sebegitu urgen kah Perda ini? Bukankah kita tidak meragukan lagi, bahwa sumbangsih cukai rokok terhadap perekonomian kita cukup signifikan? Tapi, kebutuhan masyarakat akan udara bersih bebas asap rokok pun patut diutamakan!! Dan, di sini kemudian muncul ambiguitas kebijakan pemerintah terkait industri rokok...

Pro Kontra dan Plus Minus

Bagaimanapun, Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) oleh Kota Probolinggo senyatanya masih menuai pro-kontra. Bahkan dalam tubuh DPRD pun terlihat terbelah dalam menyikapi Raperda KTR ini. Satu sisi, Perda KTR dirasa masih belum diperlukan. Pasalnya, program Pemerintah Kota membuat area khusus merokok saja belum terlaksana. Berapa banyak smoking area yang dibuat pemerintah kota ternyata mangkrak dan tak berfungsi sesuai harapan?! Sisi lain, Perda KTR ini lah yang nantinya diharapkan menjadi payung hukum sehingga smoking area yang telah ada tidak lagi sia-sia.

Sebelum memutuskan untuk berada pada pihak pro atau kontra, ada baiknya jika kita terlebih dahulu mengenal apa dan bagaimana rokok itu. Rokok merupakan salah satu zat adiktif, yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, baik selaku perokok aktif maupun perokok pasif. Orang yang merokok jelas merupakan perokok aktif, sedangkan perokok pasif adalah orang yang tidak merokok tetapi secara tidak sengaja ikut menghirup asap rokok di sekitar perokok. Seperti lazim diketahui, bahwa perokok pasif lebih berisiko daripada perokok aktif. Hal ini disebabkan karena perokok pasif menerima/menghirup rokok dari dua aliran: aliran utama ‘mainstream smoke’, (asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok) dan aliran sisi ‘sidestream smoke’, (asap yang keluar dari ujung rokok yang dibakar).

Setiap batang rokok yang dinyalakan akan mengeluarkan lebih dari 4000 bahan kimia beracun yang membahayakan. Dan, di antara kandungan asap rokok yang paling beracun adalah Tar, Nikotin serta Karbon Monoksida. Apabila racun rokok itu masuk dalam tubuh, akan menyebabkan kerusakan pada berbagai organ. Oleh sebab itulah, perokok aktif sejatinya tidak hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, melainkan juga pada orang-orang di sekitarnya, yang terkena akibat dari bahaya asap rokok.

Rasanya tidak asing jika membincang bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Sudah menjadi rahasia umum, kandungan Tar, Nikotin, Karbon Monoksida, zat dan gas kimia dalam rokok berpotensi membenihkan sekian macam penyakit, semisal kanker paru-paru, pita suara, esofagus, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Rokok pun dapat menjadi penyebab utama terjadinya stroke dan kerusakan otak. Rasanya hal ini sudah tertulis jelas dalam setiap kemasan rokok!! Bahkan, bahaya dan penyakit yang dapat diderita perokok pasif pun lebih parah dari perokok aktif. Konsentrasi zat berbahaya dalam tubuh perokok pasif lebih besar, karena racun yang terhirup dari asap rokok perokok aktif tidak terfilter. Sedangkan racun rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang dihisap. Namun, racun perokok aktif bisa meningkat jika ia menghirup kembali asap rokok yang dihembuskan. Dengan demikian, rasanya cukup wajar jika orang sebelah akan merokok, kita dengan sopan mengatakan “Silakan merokok. Tapi jangan lupa, asapnya dihirup kembali dan ditelan juga ya...?!”

Membincang problema rokok, sepertinya tidak adil jika hanya menyorot efek negatif dan bahayanya saja. Dibalik bahaya yang ditimbulkan, rokok senyatanya memberikan dampak positif. Pada dasarnya, industri rokok memberikan kontribusi terhadap perekonomian negara melalui sektor cukai dan pajaknya. Ditambah dengan tersedianya lapangan kerja. Atau juga kontribusi rokok terhadap kehidupan sosial ekonomi maupun budaya, dan bidang kehidupan lainnya. Bahkan, terdapat juga hasil riset yang menyebutkan bahwa, Nikotin membunuh kuman penyebab TBC, dan merokok mengurangi risiko penyakit susut gusi, asma serta penyakit karena alergi lainnya.

Harapan Pada Ambiguitas Kebijakan

Berdasarkan dampak negatif dan positif –plus minus— rokok dalam kehidupan kita, maka sangat wajar jika kemudian timbul pro-kontra terhadap Raperda KTR Kota Probolinggo, atau bahkan sebuah ambiguitas kebijakan pemerintah terhadap industri rokok. Betapapun, rokok memberikan kontribusi positif dalam perekonomian negara, dalam kehidupan sosial ekonomi budaya dan lainnya. Namun demikian, kebutuhan akan udara bersih dan kesehatan masyarakat tetap wajib diutamakan! Untuk itulah, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih adil dan berimbang terkait industri rokok. Hal ini semata-mata bertujuan untuk mengcover bahaya sekaligus manfaat rokok. Sehingga, kebutuhan industri rokok dapat terakomodir dan dalam waktu yang sama, masyarakat tetap terjamin kesehatan serta udara bersihnya.

Bagaimanapun, masih tetap tersirat harapan; semoga upaya eksekutif dan legislatif Kota Probolinggo membuahkan hasil. Sehingga Kota Probolinggo benar-benar dapat memetik pelajaran dari Kota Malang; yang tergolong sukses mengendalikan dampak asap rokok. Atau dari Kabupaten Tulungagung; yang bahkan telah memiliki Perda No 09 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok Dan Terbatas Merokok. Happy anniversary: Probolinggo Bestari! Masih terbingkai harapan bagi Kota Seribu Taman...

***********


Baca Selengkapnya ....

Ragam Teori Belajar dari para pakar

Posted by Lautan Hati Oela Saturday 13 October 2012 0 comments

  Sejatinya ada berbagai macam teori belajar yang telah dirumuskan dan di kemukakan oleh para pakar, baik berdasarkan pada ilmu jiwa daya, tanggapan, asosiasi, trial & error, Medan, Gestalt, Behaviorist dan lain sebagainya. Berikut akan diurai beberapa diantaranya saja, yang berdasarkan pada kebutuhan kita…

edu2

1. Teori Gestalt

Teori belajar Gestalt (Gestalt Teory) lahir di Jerman pada tahun 1912 yang dipelopori oleh Max Wertheimer. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Kohler dan Kofka dari Jerman, yang sekarang sudah tenar di dunia. Max Wertheimer meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Dari pengamatannya itu, ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah. Menurutnya, peserta didik seharusnya belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.

Penelitian Max Wertheimer ini kemudian diikuti oleh tokoh lainnya, Wolf Kohler yang meneliti tentang insight. Pandangan Kohler ini bertentangan dengan pandangan Thorndike mengenai belajar, yang menganggap belajar sebagai proses trial and error. Kohler menyatakan bahwa belajar dan mencapai hasil belajar adalah suatu proses yang didasarkan pada insight. Setelah Kohler, Kurt Kofka pun ikut meneruskan teori belajar Gestalt ini. Kofka menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan. Begitulah akhirnya teori belajar Gestalt ini mengalami perkembangan dan penyempurnaan.

Gestalt dalam bahasa Jerman berarti whole configuration atau bentuk yang utuh, pola kesatuan dan keseluruhan. Maka kemudian artinya, Gestalt adalah ‘keseluruhan lebih berarti daripada bagian-bagian.’ Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Dalam belajar, seseorang atau peserta didik harus mampu menangkap makna dari hubungan antara bagian –materi- yang satu dengan bagian yang lainnya. Penangkapan makna hubungan inilah yang kemudian disebut dengan insight atau memahami, mengerti. Menurut pandangan Gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan.

Menurut teori ini, yang penting dalam belajar adalah adanya penyesuaian pertama yaitu memperoleh respons yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi. Belajar, yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, melainkan mengerti atau memperoleh insight (pemahaman, wawasan). Sifat-sifat belajar dengan insight adalah:

a. insight tergantung dari kemampuan dasar

b. insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan

c. insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa. Sehingga segala aspek yang perlu, dapat diamati.

d. insight adalah hal yang perlu dicari, tidak bisa jatuh dari langit

e. belajar dengan Insight dapat diulangi

f. insight sekali didapat, bisa digunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.

Teori belajar Gestalt menekankan pemahaman (insight) dan pengamatan sebagai suatu alternatif. Berkat pengalaman, seseorang yang belajar atau peserta didik akan mampu mencapai pengamatan yang benar-obyektif sebelum kemudian mencapai pengertian. Dalam teori Gestalt ditegaskan bahwa belajar itu pada hakikatnya merupakan penyesuaian terhadap lingkungan, yakni untuk memperoleh respon yang tepat. Dan, penemuan respon yang tepat bergantung pada strukturalisasi bahan yang tersedia di depan peserta didik atau seseorang yang belajar. Maka kemudian, mudah atau sulitnya masalah tergantung pada pengamatan. Berdasarkan hasil penelitian, insight memegang peranan penting, maka insight pun memiliki tempat yang penting dalam teori belajar Gestalt.

Menurut teori Gestalt, terdapat beberapa prinsip dalam belajar yang di antaranya adalah:

a. Belajar berdasarkan keseluruhan

Upaya menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sangat dianjurkan. Betapapun, mata pelajaran yang bulat akan lebih mudah dimengerti daripada bagian-bagiannya.

b. Belajar adalah suatu proses perkembangan

Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediaan mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, melainkan juga perkembangan karena lingkungan dan pengalaman.

c. Terjadi transfer

Pada prinsipnya, yang terpenting dalam belajar adalah penyesuaian pertama, yaitu memperoleh pemahaman, wawasan, kemampuan dan tanggapan yang tepat. Jika suatu kemampuan telah benar-benar dikuasai, maka dapat ditransfer atau dipindahkan untuk menguasai kemampuan yang lain. Dengan kata lain, kemampuan atau pemahaman itu dapat digunakan untuk mempelajari hal-hal lain. Belajar matematika misalnya, jika benar-benar telah dikuasai maka bisa digunakan dalam masalah jual beli, penghitungan bisnis. Demikian pula halnya dengan penguasaan tata bahasa Indonesia, dapat ditransfer atau digunakan untuk mempelajari grammar bahasa Inggris.

d. Peserta didik sebagai organisme keseluruhan

Sejatinya peserta didik itu tidak hanya belajar intelektualnya saja, tapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pembelajaran modern, selain mengajar guru juga dituntut untuk mendidik (membentuk pribadi para peserta didik).

e. Belajar harus dengan insight

Insight adalah saat dalam belajar di mana seseorang dapat memperoleh pengertian, pemahaman (insight) tentang sangkut paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem. Misalnya, peristiwa banjir yang melanda suatu daerah. Peristiwa itu tidak dipandang berdiri sendiri, tetapi ada faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya banjir. Artinya, peristiwa banjir berhubungan dengan faktor-faktor lainnya.

f. Belajar lebih berhasil jika berhubungan dengan minat, keinginan dan tujuan

Keberhasilan belajar atau proses pembelajaran akan lebih terasa dan nyata jika belajar dan materi yang dipelajari itu berhubungan dengan apa yang diperlukan seseorang atau peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

g. Belajar adalah reorganisasi pengalaman

Belajar itu timbul jika seseorang menemui suatu kondisi atau soal baru dalam kehidupannya. Dalam menghadapi hal itu, ia akan menggunakan semua pengalaman yang telah dimilikinya. Seseorang mengalami reorganisasi pengalamannya. Misalnya, seseorang terkena api, kejadian ini akan menjadi pengalaman baginya. Seseorang akan merasa panas kena api. Kulitnya mengelupas akibat terbakar. Seseorang tersebut belajar dari pengalamannya bahwa kena api itu panas dan api bisa membakar kulit manusia. Karena pengalamannya itu, seseorang tersebut tidak akan mengulangi lagi untuk bermain-main dengan api.

h. Belajar berlangsung terus menerus

Kegiatan belajar tidak hanya berlangsung di sebuah lembaga pendidikan formal saja. Belajar adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Tidak hanya di sekolah atau lembaga pendidikan non formal lainnya. Belajar juga terjadi di luar sekolah, di lingkungan masyarakat dan jalur kehidupan seseorang. Peserta didik atau seseorang yang belajar dapat memperoleh pengetahuan/pengalamannya sendiri-sendiri di rumah atau di masyarakat. Pihak lain harus ikut membantunya. Pihak sekolah harus bekerja sama dengan orang tua di rumah dan di masyarakat dalam kehidupan sosial yang lebih luas, agar semua turut serta membantu perkembangan anak secara harmonis.

2. Teori R. Gagne

Teori ini didasari oleh asumsi bahwa belajar adalah proses yang sangat penting dalam perkembangan. Dan, perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne, bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.

Terkait dengan belajar, Robert Gagne mendefinisikan:

a. belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku

b. belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi

Gagne mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia secara terus menerus, yang bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan memengaruhi seseorang atau peserta didik sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi.

Robert Gagne memiliki keyakinan bahwa belajar dipengaruhi oleh dua faktor yang saling berinteraksi, yaitu faktor dalam diri (internal) dan faktor di luar diri (eksternal). Dalam proses belajar dan atau penerimaan informasi, terjadi interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal seseorang. Kondisi internal adalah keadaan dalam diri seseorang yang diperlukan selama proses belajar untuk mencapai hasil belajar yang signifikan. Sedangkan kondisi eksternal yaitu rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi seseorang dalam proses pembelajaran.

Komponen dalam belajar menurut Gagne adalah (S) Stimulus dan (R) Respon. S adalah situasi yang memberi stimulus dan R adalah respon atas stimulus tersebut. Stimulus merupakan input yang berada di luar individu, sedangkan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang bisa diamati.

Teori belajar R Gagne ini mengemukakan bahwa dalam belajar terdapat tiga tahap, yaitu (1) persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapatkan kembali informasi, (2) pemerolehan dan unjuk perbuatan atau performansi (3) alih belajar, yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum.

Menurut Robert Gagne, segala sesuatu yang dipelajari manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang disebut the domains of learning. Lima kategori atau domains of learning tersebut di antaranya adalah :

a. keterampilan motoris ( motor skill )

keterampilan motoris ini tentunya membutuhkan suatu koordinasi dari berbagai gerak badan. Yang termasuk kategori keterampilan motoris misalnya berolahraga atau main tenis, melempar bola, mengemudi mobil, menulis, mengetik dan lain sebagainya

b. kemampuan intelektual

kemampuan intelektual merupakan cara seseorang mendefinisikan segala hal terkait interaksinya dengan dunia luar. Dalam kegiatan memahami dan mendefinisikan ini biasanya individu menggunakan berbagai macam simbol. Dan, yang termasuk dalam kategori kemampuan intelektual misalnya membedakan huruf “m” dan “n”, menyebutkan tanaman-tanaman yang sejenis dan lain-lain

c. informasi verbal

dalam kehidupan, seseorang bisa belajar –mendapatkan informasi- dengan berbagai cara, salah satunya adalah informasi verbal. Melalui informasi verbal, seseorang mengalami penerimaan informasi –proses belajar- untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran berupa hasil belajar. Untuk dapat menjelaskan sesuatu hal, seseorang tentunya memerlukan inteligensi. Sehingga dengan otomatis, dalam menerima dan mencerna segala hal yang dipelajari, yang berupa informasi verbal ini, seorang individu tentunya sangat memerlukan inteligensi.

d. strategi kognitif

strategi kognitif merupakan organisasi keterampilan yang internal ( internal organized skill ) yang memerlukan kemampuan mengingat dan berpikir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan intelektual, karena ditujukan ke dunia luar dan tidak bisa dipelajari hanya dengan berbuat satu kali. Hal ini memerlukan perbaikan secara terus-menerus.

e. sikap

sikap tidak dapat dipelajari dengan ulangan-ulangan, tidak tergantung ataupun dipengaruhi oleh hubungan verbal seperti halnya domain yang lain. Sikap sangat penting dalam proses belajar. Tanpa sikap, seorang individu tak bisa berhasil dengan baik dalam belajarnya.

3. Teori Behaviorisme

Teori belajar behaviorisme ini menekankan pada perubahan tingkah laku. Menurut teori ini, belajar adalah perubahan tingkah laku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret, yang merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan berdasarkan pengalamannya.

Belajar merupakan akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Teori ini mengemukakan bahwa, yang terpenting dalam belajar adalah ‘input’ yang berupa stimulus dan ‘output’ yang berupa respon.

Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku dari peserta didik atau seseorang yang belajar.

Faktor lain yang dianggap penting oleh teori behaviorisme adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement), maka respon akan semakin kuat. Pun demikian halnya jika penguatan dikurangi atau bahkan dihilangkan (negative reinforcement), maka respon juga semakin kuat.

Ada beberapa tokoh dalam teori behaviorisme ini. Dan, beberapa tokoh kunci di antaranya adalah Thorndike, Ivan Pavlov, Skinner. Berikut akan tergambar sekilas pemikiran dari para tokoh tersebut.

1. Thorndike

Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori behaviorisme adalah Thorndike. Dengan eksperimennya, ‘belajar pada binatang’ –juga berlaku bagi manusia- yang kemudian disebut dengan “trial and error’, Thorndike pun menghasilkan teori koneksionisme.

Thorndike melakukan percobaan penelitian pada seekor kucing yang dibuat lapar dan dimasukkan ke dalam kandang. Kandang itu diberi pintu yang dapat terbuka jika suatu pasak di pintu itu tersentuh. Dan, di luar kandang diletakkan sepiring makanan. Thorndike meneliti reaksi kucing tersebut. Mulanya, kucing itu bergerak kesana-kemari, mencoba-coba jalan untuk keluar melalui berbagai jeruji kandang. Lama-kelaman akhirnya secara kebetulan, tersentuhlah pasak pintu oleh salah satu kaki si kucing. Pintu kandang terbuka dan kucing akhirnya keluar menuju makanan. Percobaan itu diulang lagi. Tingkah laku kucing itu pun tetap sama seperti percobaan pertama. Hanya saja, waktu yang dibutuhkan untuk bergerak-gerak hingga akhirnya pintu kandang terbuka pun semakin singkat. Setelah dilakukan percobaan berulang-ulang, akhirnya kucing itupun tak perlu mencoba-coba cara membuka pintu kandang. Akan tetapi, kucing langsung menyentuh pasak pintu dan terus keluar mendapatkan makanan.

Thorndike pun menyimpulkan bahwa belajar itu melalui proses:

1. trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan)

2. law of effect; artinya bahwa segala tingkah laku yang berakibat pada situasi yang memuaskan (cocok dengan tuntutan keadaan) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya. Sedangkan segala tingkah laku yang berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau dilupakan.

Thorndike melihat bahwa organisme –termasuk juga manusia— sebagai mekanismus; hanya bergerak atau bertindak jika ada perangsang yang mempengaruhi dirinya. Menurut Thorndike, terjadinya otomatisme dalam belajar disebabkan adanya law of effect itu. Karena adanya law of effect, terjadilah hubungan (conection) atau asosiasi antara tingkah laku atau reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan hasilnya (effect). Karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya itu maka pemikiran dan teori Thorndike disebut juga koneksionisme.

Melalui penelitiannya yang melahirkan teori koneksionisme itulah, Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.

Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun teori behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.

Berdasarkan penelitiannya itu pula Thorndike mengemukakan bahwa ada tiga hukum belajar, yaitu: (1) hukum efek; Hukum ini menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respon memperkuat pautan antara stimulus dan tingkah laku. Sedangkan keadaan yang menjengkelkan memperlemah pautan itu.

(2) hukum latihan; Hukum ini menjelaskan bahwa pengalaman yang diulang-ulang akan memperbesar peluang timbulnya respon (tanggapan) yang benar.

(3) hukum kesiapan; Hukum ini melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut ‘memuaskan’ atau ‘menjengkelkan’ tersebut. Singkatnya, pelaksanaan tindakan sebagai respon terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksanya, menimbulkan kejengkelan.

2. Ivan Pavlov

Setelah Thorndike, muncul kemudian Ivan Pavlov yang melanjutkan teori behaviorisme dengan penelitiannya terhadap binatang. Penelitian Ivan Pavlov ini dilakukan pada seekor anjing, dengan asumsinya bahwa manusia pun akan mengalami hal yang serupa.

Anjing akan mengeluarkan air liur setiap kali melihat atau mencium bau makanan. Maka, Ivan Pavlov mencoba membunyikan bel setiap kali akan menunjukkan makanan terhadap anjing. Suatu ketika, Pavlov membunyikan bel tanpa memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah dibunyikan bel, ternyata anjing mengeluarkan air liurnya, meskipun makanan tidak ada. Hal ini otomatis menunjukkan bahwa perilaku individu dapat dikendalikan.

Artinya, belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Dengan berdasarkan percobaan dan penelitian ini pun akhirnya Ivan Pavlov menyerukan suatu teori conditioning,--yang merupakan kelanjutan dari koneksionisme dari Thorndike— yang masih dalam rumpun teori belajar behaviorisme.

3. Skinner

Masih kelanjutan Ivan Pavlov dalam teori belajar behaviorisme, tokoh Skinner pun juga mencoba melengkapi hasil penelitian dan percobaan dari tokoh sebelumnya. Skinner mencetuskan sebuah gagasan yang disebutnya dengan ‘operant conditioning’. Menurut tokoh ini, timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus dengan respon.

Seseorang yang belajar dan/atau peserta didik yang dengan giat belajar serta dapat menyelesaikan soal-soal dalam ujian, maka guru memberikan penghargaan terhadap peserta didik tersebut berupa nilai yang tinggi, pujian atau bahkan hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka peserta didik akan belajar lebih giat dan bersemangat lagi. Hal ini menunjukkan bahwa, penguatan yang bersifat positif akan lebih baik, karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi peserta didik, sehingga ia ingin mengulang kembali respon yang ia berikan. Jadi, respon diperkuat dengan pemberian penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal. Pemberian nilai adalah penerapan dari teori penguatan yang disebut ‘operant conditioning’, yang digagas oleh Skinner dan masih dalam rumpun teori belajar behaviorisme.

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

Dalam teori behaviorisme ini, Skinner mencetuskan hukum belajar berupa:

a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

2. Teori Kognitivisme

Teori belajar kognitivisme adalah teori yang menekankan pada proses pengolahan informasi. Menuruit teori ini, belajar adalah proses interaksi antara individu dengan lingkungannya, dan hal ini berlangsung terus-menerus.

Perspektif yang dimiliki teori kognitivisme adalah, bahwa seseorang yang sedang belajar atau peserta didik memproses informasi atau bahan pelajaran dengan cara menerima, mengorganisir, menyimpan dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru diperoleh dengan pengetahuannya yang telah ada. Dengan demikian, teori belajar kognitivisme ini lebih menekankan pada bagaimana informasi diproses.

Dalam teori kognitivisme ini terdapat beberapa prinsip belajar yang senyatanya telah dan masih dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu;

2. Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana;

3. Belajar dengan memahami lebih baik daripada menghafal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui peserta didik sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan apa yang telah diketahui sebelumnya;

4. Adanya perbedaan individu pada peserta didik harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar mereka. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan sukses dan lain-lain

Ada beberapa tokoh yang mengembangkan teori belajar kognitivisme ini, di antaranya adalah Vytgosky, Bandura, Jean Piaget.

1. Vytgosky

Vytgosky adalah salah satu tokoh yang mengembangkan teori belajar kognitivisme. Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa. Dari awal risetnya tentang aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan alat dan penggunaan tanda, Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam bahasa. Ia fokus pada struktur semantik dari kata-kata dan cara, bagaimana arti kata-kata berubah dari emosional ke konkret sebelum menjadi lebih abstrak. Karya-karya Vygotsky antara 1920-1930 memberikan penekanan bagaimana interaksi anak-anak dengan orang dewasa berkontribusi dalam pengembangan berbagai keterampilan.

Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan peduli terhadap kesiapan anak untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang cocok untuk mengembangkan kegiatan baru.

Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar peserta didik meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan. Dan, pemerolehan pengetahuan seorang peserta didik bermula dari lingkup sosial, antar orang, serta kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi.

2. Albert Bandura

Selain Vygotsky, tokoh yang juga mengembangkan teori belajar kognitivisme adalah Albert Bandura. Menurut Bandura, lingkungan memang membentuk perilaku dan sebaliknya, perilaku pun membentuk lingkungan. Konsep ini disebutnya dengan determinisme respirokal, yakni proses yang mana dunia dan perilaku seseorang saling mempengaruhi. Masih menurut Bandura, kepribadian merupakan hasil dari interaksi tiga hal; lingkungan, perilaku dan proses psikologi seseorang. Proses psikologi ini sendiri berisi kemampuan untuk menselaraskan berbagai citra atau image dalam pikiran dan bahasa.

Didalam teorinya, Bandura menyebutkan bahwa ada dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia yakni ‘pembelajaran observasional’ atau yang lebih dikenal dengan teori pembelajaran sosial dan ‘regulasi diri’. Beberapa tahapan yang terjadi dalam pembelajaran observasional atau pembelajaran sosial adalah: (1) atensi atau perhatian, (2) retensi atau ingatan, (3) reproduksi, (4) motivasi.

Sedangkan ‘regulasi diri’ atau kemampuan mengontrol perilaku sendiri adalah salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia. Tiga tahap yang terjadi dalam proses regulasi diri yaitu:

i) pengamatan diri, yakni melihat diri sendiri serta perilakunya dan terus mengawasi

ii) penilaian, yakni membandingkan apa yang dilihat pada diri dan perilaku dengan standar ukuran tertentu

iii) respon diri, yakni proses memberi imbalan pada diri sendiri setelah berhasil melakukan penilaian sebagai respon terhadap diri sendiri

3. Jean Piaget

Piaget membedakan dua pengertian tentang belajar, yakni belajar dalam arti sempit dan belajar dalam arti luas. Menurut Jean Piaget, belajar dalam arti sempit adalah belajar yang hanya menekankan pada perolehan informasi baru dan pertambahan. Belajar dalam arti ini disebut dengan figuratif, suatu bentuk belajar yang pasif. Misalnya, anak yang belajar nama-nama ibu kota suatu negara, atau kegiatan anak yang menghafal angka. Sedangkan belajar dalam arti luas, atau yang disebut juga dengan operatif, adalah belajar untuk memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang lebih umum, yang dapat digunakan pada bermacam-macam situasi. Dalam keadaan belajar seperti ini, individu aktif mengkonstruksi struktur dari yang dipelajari. Misalnya, dalam menghafal nama-nama ibu kota negara, seorang anak juga mengerti hubungan antara kota-kota dan negara. Dalam hal ini, seorang individu atau peserta didik mengetahui suatu struktur yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada situasi tertentu, sehingga pengertian itui dapat digunakan dalam situasi yang lain.

Dalam hal belajar, Jean Piaget menekankan pada kegiatan seseorang yang belajar atau peserta didik yang aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Hanya dengan keaktifan mengolah bahan, bertanya serta mengolah bahan secara kritis, seorang peserta didik akan dapat menguasai bahan yang dipelajari dengan baik. Dengan demikian, kegiatan yang aktif dalam proses pembelajaran itu sangat diutamakan. Bahkan, kegiatan peserta didik dalam mengolah bahan, mengerjakan soal, membuat kesimpulan dan merumuskan suatu kesimpulan dengan kata-katanya sendiri adalah kegiatan yang sangat dibutuhkan agar peserta didik sungguh membangun pengetahuannya. Tugas guru atau pembimbing adalah menyediakan alat-alat dan mendorong agar peserta didik menjadi aktif.

Pendapat dan berbagai prinsip yang dikemukakan Piaget ini kemudian melahirkan sebuah teori baru lagi dalam belajar, yakni teori konstruktivisme.

5. Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme ini merupakan kelanjutan dari teori kognitivisme yang pernah dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui berbagai analisa, riset dan pendapatnya dalam teori kognitivisme, Piaget pun sejatinya melahirkan sebuah teori konstruktivisme.

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Berbeda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.

Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru. Apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

a. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.

b. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.

c. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.

d. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

e. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten dengan pengetahuan ilmiah.

f. Bahan pelajaran yang disediakan perlu memiliki keterkaitan dengan pengalaman peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk menarik minat peserta didik dalam belajar.

*******

Bibliographical;

Djamarah, Saiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Purwanto, M. Ngalim. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sagala, Saiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Slameto. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.

Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piageat. Yogyakarta: Kanisius.

www.sekolahdasar.net


Baca Selengkapnya ....

Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam Surah Al Kahfi

Posted by Lautan Hati Oela Friday 5 October 2012 0 comments

 

(Analisis Peristiwa Pertemuan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir dalam Konteks Pendidikan)

Bertolak dari peristiwa pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir yang diceritakan dalam QS. Al Kahfi, maka senyatanya terdapat benang merah yang dapat dikorelasikan dengan konteks pendidikan. Apabila ditilik lagi, peristiwa antara kedua Nabi tersebut –yang terdapat hubungan antara guru dan murid; pendidik dan peserta didik—maka setidaknya dapat disimpulkan, bahwa terdapat komponen penting dalam pendidikan, antara lain:

  • Tujuan Pendidikan

Pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing manusia agar berakhlak mulia, terampil, cerdas, bertanggung jawab atas keselamatan serta kemaslahatan dirinya dan masyarakat. Dan, dari kisah Nabi Musa dan Khidir, maka latar belakang Musa ini kiranya menjadi bahan masukan bagi Nabi Khidir dalam merumuskan tujuan pendidikan, yakni pembinaan akhlak, dari kesombongan berbalik menjadi tawadhu (rendah hati) dalam situasi bagaimanapun.

  • Peserta Didik

Pendidikan berjalan dengan baik apabila kesediaan dan kesetiaan antara peserta didik dan pendidik senantiasa terjaga. Agar peserta didik dapat memiliki ilmu, ia dituntut untuk memiliki sifat-sifat tertentu. Maka jelaslah bahwa kisah Nabi Musa as. tersebut memberikan tamsil pada kita, bahwa seorang peserta didik harus berusaha untuk memiliki kriteria-kriteria yang beberapa diantaranya adalah motivasi yang tinggi, memiliki sikap sopan santun dan rendah diri.

  • Pendidik

Pendidik/Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang memegang peranan penting dalam membantu dan mengarahkan peserta didik. Sebagai seorang guru yang digugu dan ditiru, maka ia di tuntut memiliki karakteristik yang baik untuk mempengaruhi anak didiknya. Seperti yang tergambar jelas dalam kisah Nabi Khidir sebagai pendidik dan Nabi Musa sebagai peserta didiknya.

  • Metode Pendidikan

Metode pendidikan merupakan cara yang dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode pendidikan ini bermacam-macam. Dan berdasarkan kisah tersebut, tampak bahwa Nabi Khidir menggunakan metode uswah hasanah atau memberi teladan yang baik, yaitu selalu berdisiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan. Ajaran tersebut merupakan bagian dari akhlak yang baik, dan dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat muslim agar selalu disiplin, menepati janji dan lain-lain.

  • Situasi Pendidikan

Pada dasarnya, pendidikan merupakan proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Setiap proses interaksi terjadi dalam ikatan suatu situasi, tidak dalam alam hampa. Di antara berbagai jenis situasi itu terdapat situasi yang terdapat satu jenis situasi khusus, yakni situasi pendidikan atau situasi edukatif.

Dan, jika menyimak dialog yang terjadi antara Musa dan Khidir, maka tercermin suatu situasi yang edukatif. Yang menonjol dalam interaksi itu adalah peranan guru dengan sifat dan sikapnya yang positif; seperti kasih sayang, sabar, terbuka, dan menghargai peserta didik sebagai pribadi yang memiliki harga diri serta rendah diri. Dan ini harusnya menjadi contoh bagi kaum muslimin, khususnya bagi seorang pendidik/guru; bagaimana akhlak yang diterapkan Khidir tersebut bisa kita aplikasikan dalam proses pembelajaran kita sehari-hari.

Masih berdasarkan peristiwa pertemuan antara kedua Nabi tersebut –yang kemudian menghasilkan sebuah proses pembelajaran dan pendidikan—maka dapat diketahui nilai-nilai pendidikan, antara lain:

1. Kode etik/akhlak yang berhubungan dengan permohonan menjadi peserta didik.
Dalam hal ini, hendaknya seorang calon peserta didik memperlihatkan motivasi dan keseriusannya dengan ungkapan sopan dan tawadhu’.

2. Pendidik harus mengetahui minat dan bakat yang dimiliki peserta didik.
Pendidik harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan orang tua/wali peserta didik dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu, pemahaman terhadap jiwa dan watak peserta didik diperlukan agar dapat dengan mudah memahami jiwa dan watak mereka. Salah satu contoh misalnya, sebelum dimulai proses pembelajaran, pendidik harus mengetahui minat belajar peserta didiknya. Karena minat, bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang tanpa bantuan guru.

3. Pendidik harus melakukan kontrak belajar setelah mengetahui minat dan bakat peserta didik. Pada proses pembelajaran selanjutnya, kontrak belajar akan menjadi peraturan yang mengikat antara pendidik dengan peserta didiknya. Jika dalam proses pembelajaran tanpa ada kontrak belajar, bisa jadi akan menyebabkan ketidakseriusan, baik di pihak pendidik maupun peserta didik.

4. Pendidik hendaknya memahami tingkat pemikiran dan pemahaman (intelektual) peserta didik. Akal dan pengetahuan setiap orang berbeda-beda, baik dari satu individu terhadap individu lainnya, ataupun antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Begitu pun tugas seorang pendidik, harus memahami tingkat intelektual peserta didiknya.

5. Pendidik hendaknya memberikan kesempatan bertanya kepada peserta didik.
Bertanya dapat menghindari kesalahan dan kesamaran yang terkadang ada pada peserta didik. Ketika pendidik telah selesai menjelaskan pelajaran, ia tidak mengetahui apakah seluruh peserta didiknya sudah memahami pelajaran yang ia terangkan seluruhnya, atau tidak. Cara untuk mengetahui hal itu adalah dengan bertanya kepada mereka tentang sebagian apa yang dijelaskannya. Namun cara yang lebih baik adalah dengan terlebih dahulu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang bagian pelajaran yang sulit di pahami. Melalui pertanyaan, makna-makna tertentu yang tidak ia pahami dan mengerti dapat menjadi lebih jelas.

*******


Baca Selengkapnya ....
Cara Buat Email Di Google | Copyright of Lautan Hati Oela.