curah rasa
Setelah hampir setahun lamanya tidak menjamah blog ini, rasanya sangat merindu untuk bisa kembali aktif... Sekedar menulis, atau mungkin untuk berbagi.
Dan ternyata, sampai saat ini pun masih ada keinginan yang membuncah, bahkan sekedar untuk mencurahkan rasa. Yaa, banyak sekali peristiwa yang belakangan ini telah menguras hati, tenaga, dan pikiran. Betapa tidak, rasa kehilangan dua orang yang begitu penting, orang yang tersayang dalanm hidup ini cukup membuat saya menjadi 'kehilangan arah'. Hingga akhirnya masih butuh waktu yang tidak singkat untuk memulihkannya., dan segera bangkit dari keterpurukan.
Sungguh, meninggalnya nenek dan ibu tersayang yang berturut-turut itu cukup membuat perasaan sedih dan kehilangan yang tak kunjung sembuh dan pulih. Saya sadar sepenuhnya, bahwa itu semua adalah cobaan dan ujian Tuhan. Tapi, kadang terbersit juga rasa dan keinginan untuk sedikit 'protes' pada takdirNya. Saya yakin sepenuhnya pada kuasaNya. Tak sedikitpun aku ragukan kekuasaan dan segala ketetapanNya. NAmun, aku juga manusia biasa, yang bisa sakit, luka, dan bahkan punya keinginan bertanya 'kenapa harus saya?' 'bagaimana hidup saya selanjutnya?' '
Setelah kepergian nenek tercinta, ada perasaan yang berubah. Rasa kehilangan sudah mulai muncul dalam diri. Sebetulnya, peristiwa meninggalnya nenek bukan peristiwa pertama yang membuat aku merasa kehilangan. Jauh sebelum peristiwa itu, aku sudah ditempa rasa kehilangan karena meninggalnya kakek dari ibu kemudian kakek dari ayah. Namun bedanya, saat kedua kakekku itu meninggal, aku masih sangat kecil, dan belum mampu menerjemahkan rasa kehilangan karena ditinggal orang terkasih.
Beda dengan saat nenekku meninggal. Saat nenek dari ibuku itu meninggal, aku sudah cukup matang untuk bisa sekedar 'membaca rasa yang terbersit dalam diri' dan sudah cukup mampu merasakan goncangan dan gejolak hati. Saat itu pun aku benar-benar merasa pediihnya ditinggalkan. Aku benar-benar kehilangan nenek, yang selama ini kerap menemaniku bercerita. Nenek meninggal setelah lima hari di rumah sakit. Hipertensi menjadi salah satu alasan petugas dan praktisi kesehatan bagi kepergian nenekku. Tapi aku yakin, semua itu tak lepas dari kuasaNya. Sehingga pada Kamis, 13 Februari 2014 nenekku ternyata harus menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit.
Saat itu aku merasa Tuhan benar-benar menguji.
Enam bulan berselang dari kepergian nenek, ibuku juga meninggal. Hal ini yang kemudian membuatku merasa bahwa Tuhan selalu menguji. Lagi-lagi, sepertinya Dia ingin tahhu, sejauh mana rasa patuh dan taaqwaku padaNya. Ibu meninggal dalam keadaan yang sangat tidak bia kuduga sebelumnya. Ada perbedaaan besar antara meninggalnya nenek dengan meninggalnya ibu. Kepergian nenek masih sangat bisa kutrima secara logika. Karena nenek sudah sakit dan sempet beberapa kali bolak balik masuk rumah sakit. LAin halnya dengan ibuku. Beliau menninggal sangat mendadak. Mulanya, dia hanya mengeluhkan sakit perut, badan dan tubuhnya terlihat lemas. Tapi dua hari kemudian ia terlihat bugar dan bisa bercanda. Menjelang hari-hari terakhirnya, ibu hampir tidak pernah mengeluhkan apapun. Aku, ayah, dan adik sebetulnya menyimpulkan kalau ibu masih dalam kondisi tubuh yang lemah. Tapi ibu selalu berusaha menyangkalnya. Dia selalu bilang dia tidak apa-apa. Dia seperti biasanya, tidak ada yang berubah dengan kondisi badan dan kesehatannya. Hal itu yang kemudian membuat kami bertiga mampu menepis rasa khawatir kami akan kondisi dan kesehatan ibu. Kami yakin (seridaknya berusaha meyakini) bahwa ibu sehat dan akan terus berada ditengah-tengah kami, seperti biasa. Bahwa ibu yang masih akan terus dan selalu menyiapkan menu sarapan dan makan kami sehari-hari. Bahwa ibu yang selalu menjadi orang pertama dan yang paling khawatir pada kondisi kami bertiga. Bahwa ibu yang akan terus membimbing kami, mengatur dan menyediakan semua kebutuhan kami. Bahwa ibu yang selalu menata segala hal yang berkaitan dengan kahidupan kami, dengan cara yang sangat demokratis dan nyaris sempurna. Begitulah, saat itu kami bertiga masih yakin bahwa ibu pasti akan selalu menemani dan memonitor kami, menjadi teman diskusi kami, sekaligus menjadi sandaran dan penopang hidup kami!
Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Hanya dalam waktu sekjab saja, Tuhan mengubah keyakinan kami akan kehidupan. Rabu, 13 Agustus 2014 Tuhan memutuskan untuk mengambil ibu. Peristiwa itu sangat mengejutkanku. Ibu yang selalu meyakinkan kami bahwa ia tidak apa-apa, ia sehat-sehat seperti biasa, ternyata harus pergi menghadapNya. Praktis, hatiku sangat tidak mampu menerima kenyataan itu. Dan yang paling membuat aku susah beradaptasi dengan kenyataan hidupku saat itu adalah, ketika ibu meninggal, saat naza'nya, aku sendiri yang tidak berada disampingnya. Ibu meninggal dirumah, persis ketika ia menerima kunjungan dari teman-teman kerjanya disekolah. Saat itu ibu masih sempat bercanda dan tertawa lepas bersama rekan-rekan guru yang lain. Namun beberapa saat kemudian, ia ternyata sudah menghadapi naza'. Dan saat itu, ibu ditemani ayah, adik, dan beberapa temannya. Sementara aku, hanya aku saja yang tidak ada dirumah dan tidak bisa menemani ibu di detik-detik terakhirnya. Satu hal yang paling aku sesalkan, satu hal yang masih sulit kuterima dengan ikhlas. Kenapa hanya aku yang tidak bisa menemani ibu diakhir hayatnya, Kenapa hanya aku yang tidak tahu detik-detik kepergian ibu dan naza'nya. Kenapa hanya aku yang terasa 'jauh' ddengan ibu bahkan saat ia akan meninggalkan dunia ini. Sampai saat ini pun aku rasanya masih menganggap bahwa aku satu-satunya anak yang tidak diizinkan Tuhan untuk memeluk ibu saat terakhirnya ia bernapas didunia. Sungguh, aku sangat menyesalkan hal itu'.
Cukup lama aku berusaha bangkit dari rasa terasing, terpuruk karena kehilangan. Aku tahu, dalam dunia yang penuh ironi ini, kehilangan dan ditinggalkan adalah suatu keniscayaan. Tapi rasa kehilangan ini sepertinya tak mampu lagi aku hempas, masih saja tertahan dan tak mau hilang. Sudah tidak sedikit kerabat dan teman yang datang silih berganti untuk menghibur dan menguatkanku. Tapi mungkin diriku sendiri yang terlalu lama terhanyut dalam rasa kehilangan itu. Tak henti-henti aku menyesali diri. Hingga pada akhirnya, aku berkeyakinan bahwa aku harus bangkit dan kuat. Kulihat kembali 'permata' yang masih kumiliki... Ya, aku melihat ayah dan adikku, dua 'permata' yang masih tersisa dalam hidupku. Maka setelah kulihat wajah keduanya, aku kembali menemukan alasan untuk bisa kuat dan bertahan. Karena hanya demi mereka berdua, aku harus bisa kuat. Untuk mereka berdua aku harus tetap tegar. Demi mereka berdua hidupku selanjutnya kuberikan. Maka tiidak ada jalan lain. Aku harus kuat demi mereka berdua. Setidaknya, aku harus berusaha kuat agar bisa menjadi sandaran bagi mereka. Satu-satunya peran yang selama ini hanya mampu dilakukan ibu. Maka ketika Tuhan mengambil kembali ibuku, sudah seharusnya aku yang mengambil alih peran itu. Karena jika tidak begitu, bagaimana dengan hidup ayah dan adikku...
Ya... Aku akhirnya sampai pada keyakinan bahwa aku harus memilih; apa aku akan terus larut dan bertahan menikmati keterpurukan dalam rasa kehilangan. Atau aku bisa bangit dan merangkai kekuatan dan keluar menemui orang-orang tercinta untuk aku bahagiakan.....
Pilihan sepenuhnya ada ditanganku. Lagi-lagi, hidup ini pilihan. Maka aku harus memilih salah satu yang paling mungkin mendekati 'kebaikan' yang harus aku lakukan. Aku pun harus memilih untuk menghapus air mata, merangkai kembali kekuatan, dan menunjukkan ketegaran hidup dihadapan ayah dan adik. Aku memilih untuk melanjutkan hidup dengan segenap kekuatan agar bisa membahagiakan ayah dan adik. Maka tugasku adalah, segera mengambil alih peran yang selama ini hanya mampu dijalankan ibu'
Kembali kucoba meyakinkan diri...
Inilah hidup, yang terkadang berrat dan tidak fleksibel. Maka, mau tidak mau, bisa atau tidak bisa, aku harus kuat...!
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment