selamat berkunjung di lautan hati,
tempat berbagi, menyelami, memberi
...
just have fun.



Menakar Transformasi Seni Budaya di Kota Mangga

Posted by Lautan Hati Oela Tuesday 26 June 2012 0 comments

 

Sebagai salah satu kota yang sepanjang sejarah perjalanannya menampung ragam masyarakat dengan etnis berbeda, senyatanya telah membuat Probolinggo menjadi kota dengan budaya pendalungan. Sejatinya, istilah pendalungan masih sulit dijelaskan maknanya secara definitif dan pasti. Namun secara umum, pendalungan merupakan percampuran budaya antar etnis, terutama etnis dominan Jawa dan etnis dominan Madura di wilayah Jawa Timur. Dan, Kota Probolinggo yang merupakan daerah tapal kuda ini termasuk kawasan kebudayaan pendalungan –akulturasi budaya Jawa dan Madura— dengan budaya Madura yang lebih dominan.

Kota yang pada zaman Majapahit dikenal dengan nama “Banger” ini telah berhasil mengundang banyaknya pendatang. Para penduduk dari berbagai etnik yang menetap di kawasan ini pada akhirnya menjadikan penduduk kota Probolinggo sangat heterogen. Keberagaman masyarakat inilah yang pada gilirannya akan berdampak pada adat, bahkan seni budaya yang berkembang. Tak dapat dipungkiri, bertemunya berbagai suku bangsa yang menjadi penduduk wilayah Probolinggo menyebabkan munculnya sebuah budaya yang relatif unik. Bahkan dalam membincang kesenian pun –yang merupakan bagian integral dari sebuah budaya— Probolinggo sejatinya memiliki beragam seni yang menarik. Seiring perputaran waktu, maka seni yang lahir dan tumbuh di kota berbudaya pendalungan ini juga mengalami sentuhan modernitas yang tak dapat dielakkan.

Transformasi-Modernisme yang peka zaman

Sejatinya terdapat berbagai seni yang menjadi kekayaan kota dengan penghasil buah mangga ini yang tak terelakkan dari pengaruh arus modernisme. Sedikit di antaranya adalah Jaran Bhodag, Tari Lengger, Petik Laut, dan Ludruk yang tak luput dari perubahan dan perkembangan, sebagai tuntutan sekaligus konsekuensi logis dari perubahan zaman.

jaran bodhagJaran Bhodag merupakan salah satu kesenian kota Probolinggo yang pernah menghilang, tergerus zaman untuk beberapa saat. Kini, Jaran Bodhag kembali semarak. Secara etimologi Jawa, jaran berarti kuda, sedangkan bodhag berarti wadah atau bentuk lain. Pada dasarnya, Jaran Bodhag ini kesenian yang merupakan peranakan (hybrid) dari Jaran Kencak. Jika Jaran Kencak tampilannya menggunakan jaran (kuda) asli dengan penari yang diiringi musik, maka Jaran Bodhag ini telah ditransformasikan menjadi tampilan penari yang hanya membawa kuda tiruan dari bahan rotan dan kayu. Pembuatan kuda tiruan dari rotan itu pun dapat dimodifikasi seperlunya, dengan catatan bahwa tidak akan mengubah karakter yang ada. Perputaran dan tuntutan zaman lah yang mendorong adanya transformasi dari penggunaan kuda asli menjadi tiruan, di samping juga kondisi masyarakat sendiri. Konon, dahulu pada kalangan masyarakat miskin yang tidak mampu menyewa kuda asli, mereka memodifikasi kuda tiruan dari rotan. Maka tersebutlah Jaran Bodhag, yang kini mulai semarak lagi dan digemari. Jadi, jika menilik kembali arti Jaran Bodhag, maka dapat ditafsir bahwa Jaran Bodhag adalah bentuk lain dari jaran kencak (kuda yang menari).

lenggerKesenian lain yang dimiliki kota Probolinggo adalah tari Lengger, yang kerap kali dimainkan di pasar Mangunharjo Probolinggo. Mulanya, kesenian Lengger tercipta sebagai tari ritual yang berfungsi menolak bala’ dan sebagai media ruwatan. Seiring berjalannya waktu, Lengger pun mengalami perkembangan-perubahan. Lengger akhirnya mewujud sebagai tari tradisional yang dimodifikasi jadi tari yang lebih baik, dengan beberapa sentuhan modernitas tentunya. Seorang penari Lengger dituntut untuk mampu menyanyi sekaligus menari, dengan gerakan yang lincah dan dinamis, sesuai ciri khas-identitas daerah. Lengger harus bisa membawakan tembang-tembang Jawa dan Madura dengan iringan musik yang sederhana. Bahkan sekarang, Lengger bisa mengadaptasi (dengan improvisasi—modifikasi) ragam lagu, –pop misalnya— yang bisa di request langsung oleh penanggap atau penyewa. Lagi-lagi, tuntutan zaman yang kemudian mendorong terciptanya kreativitas untuk sebuah transformasi seni di kota ini.

petik laut

Probolinggo sebagai daerah pesisir senyatanya tak luput dari seni—tradisi Petik Laut. Pada dasarnya, petik laut merupakan sebuah ritual yang dilakukan para nelayan, sebagai rasa syukur kepada Tuhan sekaligus memohon berkah rezeki dan keselamatan. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan, demi memeriahkan tradisi ini maka kemudian disertakan beberapa kegiatan lain, misalnya khataman, lomba perahu hias dan hiburan-hiburan, yang kemudian mengiringi ‘petik laut’. Demikianlah sebuah transformasi seni yang terjadi, namun tidak mengubah seutuhnya akan esensi, makna dan tujuan seni itu sendiri.

Upaya Penyadaran dan Pelestarian: Sebuah Tantangan

Terkait seni-budaya di kota Probolinggo dengan perkembangan dan transformasinya, maka hal yang tak kalah penting untuk diperbincangkan adalah kesadaran akan kepemilikan dan usaha untuk mempertahankan eksistensi seni-budaya itu sendiri. Sekalipun terdapat perubahan mendasar dalam kesenian, baik dalam gerak seni, kostum maupun syair dan hal-hal lain yang dimodifikasi, selama tidak mengarah pada hal negatif dan masih memegang esensi serta ‘messages’ yang akan disampaikan, bukankah transformasi itu tidak merugikan? Dan lagi, ketika sebuah transformasi seni-budaya dihadirkan sebagai upaya mempertahankan ‘kelanjutan nafas’ kesenian itu sendiri, maka sangat wajar jika ada apresiasi untuk hal ini. Sehingga kemudian, demi mencapai tujuan yang positif dalam berkesenian-berbudaya, sungguh transformasi-modernisasi yang disesuaikan dengan zaman tidak dapat dinegasikan begitu saja.

Masalahnya kemudian adalah, ketika transformasi dinilai baik dan positif, mampukah masyarakat dan generasi penerus-putra daerah mempunyai rasa memiliki akan budaya dan seni, sehingga kemudian tumbuh keinginan untuk melestarikannya. Karena segetol apapun pemerintah daerah berupaya menggali dan melestarikan budaya—kesenian yang dimiliki, jika masyarakat serta generasi muda penerusnya an sich dan terlihat apatis, tentu hasil yang didapat tidak sesuai harapan. Untuk itulah, upaya menghadirkan rasa kepemilikan dan melestarikan seni-budaya adalah tantangan bagi semua lapisan masyarakat, dan bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah semata.

Yang menjadi penting untuk diperhatikan kemudian adalah, mampukah kita semua menghadirkan rasa memiliki sekaligus berupaya mempertahankan-melestarikan seni budaya kita? Dengan keberadaan kita sebagai masyarakat, pemuda, putra daerah, pelajar, dan/atau pengabdi kota Probolinggo, masihkah bersedia untuk ‘mengenal’ dan berbangga dengan seni budaya kita, di tengah deru perkembangan zaman dan teknologi? Mampukah kita setia memilih atau setidaknya ‘melirik’ karya seni dan budaya kota kita, ketika muncul beragam jenis hiburan yang ditawarkan berbagai media dan teknologi masa kini???

@@@@@

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Menakar Transformasi Seni Budaya di Kota Mangga
Ditulis oleh Lautan Hati Oela
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ulashoim.blogspot.com/2012/06/menakar-transformasi-seni-budaya-di.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 comments:

Post a Comment

Cara Buat Email Di Google | Copyright of Lautan Hati Oela.