selamat berkunjung di lautan hati,
tempat berbagi, menyelami, memberi
...
just have fun.



Lirik Lagu LOVE YOURSELF

Posted by Lautan Hati Oela Thursday 28 July 2016 1 comments
Lagu ini memang benar-benar easy listening. Penyanyinya Justine Bieber. Tapi secara pribadi, saya malah lebih suka mendengar Julie Anne San Jose yang menyanyikan. Sungguh, rasanya tak bosan-bosan mendengar lagu ini. Alih alih menceritakan tentang mantan kekasih yang narsis, lagu ini sepertinya ingin  menunjukkan bahwa seseorang mampu move on dari sang mantan, dan bisa menjalankan hidup yang lebih baik.
Lebih lengkapnya lirik Lagu Love Yourself berikut
 Love YourSelf
All the times that you rain on my parade

And all the clubs you get in using my name

You think you broke my heart

Ohhh girl for goodness sake

You think I'm crying

on my own, well I ain't



And I didn't wanna write a song
'Cause I didn't want anyone thinking I still care, I don't
But, 
you still hit my phone up


And baby I'll be moving on
And I think you should be somethin' 
I don't wanna hold back
Maybe you should know that
My mama don't like you and she like's everyone
And I never like to admit that I was wrong 


And I've been so caught up in my job
Didn't see what's going on
And now I know
I'm better sleeping on my own


'Cause if you like the way you look that much
Ohhhh baby you should go and love yourself.
And if you think that I'm still holdin' on to somethin'
You should go and love yourself


When you told me that you hated my friends
The only problem was with you and not them
And every time you told my opinion was wrong
And tried to make me forget where I came from


And I didn't wanna write a song
'Cause I didn't want anyone thinking I still care, I don't
But, 
you still hit my phone up
 

And baby I'll be moving on
And I think you should be somethin' I don't wanna hold back
Maybe you should know that
My mama don't like you and she like's everyone
And I never like to admit that I was wrong
And I've been so caught up in my job
Didn't see what's going on
But now I know
I'm better sleeping on my own


'Cause if you like the way you look that much
Ohhhh baby you should go and love yourself
And if you think that I'm still holdin' on to somethin'
You should go and love yourself


For all the times you made me feel small
I fell in love now I fear nothin' at all
I never felt so low when I was vulnerable
Was I a fool to let you break down my walls?


'Cause if you like the way you look that much
Ohhhh baby you should go and love yourself
And if you think that I'm still holdin' on to somethin'
You should go and love yourself

'Cause if you like the way you look that much
Ohhhh baby you should go and love yourself
And if you think that I'm still holdin' on to somethin'
You should go and love yourself
 ***********



:)


Baca Selengkapnya ....

Tuhan, Letakkan Aku dalam kehendakMu...

Posted by Lautan Hati Oela Thursday 21 July 2016 0 comments
Cukup lama tidak  memposting sesuatu di blog ini. Sebenarnya, dari beberapa waktu lalu sudah sangat menginginkan aktif kembali. Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya keinginan untuk sekedar menuliskan sesuatu di blog ini hanya menguap begitu saja. Akhir-akhir ini, cukup banyak peristiwa yang sangat menguras tenaga, pikiran, dan hati... Benar-benar dahsyat dua tahun belakangan ini. Sepertinya Tuhan benar-benar ingin tahu; seberapa besar keyakinan dan keberserahanku padaNya

Aku tahu, bahwa tidak ada satu pun manusia yang beriman yang tidak diuji. Seperti yang seringkali aku dengar dari para ilmuwan atau da'i, atau yang pernah beberapa kali aku baca dari beberapa literatur, bahwa Allah mengatakan dalam firmanNya: Jangan dikira orang yang mengaku beriman itu akan dibiarkan saja, tetapi mereka akan selalu diuji dan dicoba.... Begitu kira-kira firman Allah. Kurang lebihnya seperti itu, maaf saja jika masih berbeda dengan redaksi pastinya.
Maka kemudian, bersandar pada ayat Al Qur'an tersebut, aku harus mampu menyesuaikan diri dengan cara beruapaya meneerima segala qodarNya, manjalani semua ketentuan dan ketetapan Sang Maha Pencipta, tanpa mempertanyakan "mengapa".

Pada dasarnya, modal utama menjalani hidup ini adalah ikhlas. Dalam segala hal dan pada berbagai ketetapan Ilahi, apabila kita mampu ikhlas menerima serta menjalani, maka semuanya akan terasa mudah dan indah. Sungguh, aku baru tersadar dan mampu memahaminya baru-baru ini.  Namun tak perlu disesali, semua memang butuh proses. Tak terkecuali dalam mempelajari segala sesuatu, pasti butuh proses dan tahapan-tahapan tersendiri. Sudahlah, ikhlas dan pasrah saja pada kuasaNya.... Pasti semua akan berujung indah.

Hal ini yang seharusnya juga mampu menjadi pembelajaran bagiku sendiri. Bahwa aku harus berusaha ikhlas dan pasrah. Sungguh berat memang, tapi harus tetap berusaha, sampai kapanpun. Dan, semoga Tuhan mempermudah. Aamiin.......
Nah, sepertinya cukup sudah membincang masalah keikhlasan dan kepasrahan dalam hidup. Maka, mari selanjutnya menikmati hidup. Dan, aku kini benar-benar merasa menikmati hidup. Sungguh, benar-benar indah hidup yang diberikan Tuhan. Maka aku hanya mampu mensyukurinya, dengan cara melaksanakan segala kebaikan dan harus merasa nikmat dalam berbuat kebaikan.
Ah, sejatinya masih banyak pelajaran hidup yang selaiaknya aku ambil dan terapkan. Sungguh, proses hidup yang aku jalani msih belum ada apa-apanya, sehingga pengalaman dan pelajaran hidup masih aku rasa sedikit. Jadi, aku masih harus terus berjalan, harus terus berproses, harus terus belajar, harus terus bersyukur, harus terus berusaha ikhlas dan pasrah dalam kuasaNya.

Maka harapku;

Tuhan...
letakkan aku dalam kehendakMu.

Baca Selengkapnya ....

SEKELUMIT TENTANG (saya) WANITA

Posted by Lautan Hati Oela Saturday 28 May 2016 0 comments
“Wanita diciptakan Tuhan: CANTIK dan BODOH. CANTIK agar laki-laki menyukai wanita. Dan, BODOH agar wanita itu menyukai laki-laki.” Salah satu kalimat aku dapat dari seorang teman saat aku tanpa sengaja curhat. Entah kenapa belakangan ini setiap kali aku mulai teringat masa-masa bersama ibuk, bawaannya jadi meloow , hati masih terasa pilu, dan tanpa sadar air mata pun turut mengalir deras. Saat itu aku memutuskan untuk  mencoba bertukar pikiran, atau lebih tepat dikatakan ‘curhat’ pada salah satu teman yang belum cukup lama aku kenal.
Banyak hal yang aku ceritakan meskipun hanya via WA. Jujur sebenarnya aku merasa malas melenggangkan jemari, mengetik berbalas pesan via WA itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku merasa butuh untuk sekedar mencurahkan hati, atau bahkan berdiskusi. Mulanya aku hanya mengutarakan kerinduan yang teramat sangat terhadap almarhumah ibu dan almarhum adikku. Tapi ternyata tak cukup disitu, pembicaraan kami melebar sampai pada perjalanan hidup. Awalnya temanku mengklaim bahwa aku terlalu mendramatisir jalan hidup dari Tuhan buatku. Tapi aku punya cukup alasan untuk menyanggahnya, atau sekedar apologi saja.
Ditengah perbincangan, temanku bahkan dengan nada mengejeknya  mengirimkan pesan: “Lantas apa aku harus iba, harus merayu menenangkan dan membujuk kamu agar tidak larut bersedih lagi?” Tentu saja kalimat itu cukup menyayat dan menyindirku. Dalam hati aku bergumam; memangnya selama ini aku serapuh itu sampai harus mengharap orang lain iba padaku? Segera saja aku jawab pesannya dengan kalimat yang tegas: “AKU tidak butuh dikasihani.”
Cukup hanya satu kalimat itu yang kemudian mampu membuat temanku mulai tertarik melanjutkan ragam kalimat, dan analogi-analogi yang aku rasa benar-benar nyata dalam kehidupan. Perlahan ia mulai menampakkan sisi bijak dalam dirinya. Setiap perbincangan kami pun sarat nilai-nilai kehidupan, banyak bertebaran hikmah yang seharusnya aku pungut. Termasuk masalah hati. Yup, ia mampu menyeretku pada satu sisi, dimana aku dengan suka rela menyadari bahwa selama ini aku lebih mengedepankan logika. Salah satu kalimat yang cukup membuat aku terhentak adalah “Pakek hatimu”. Kalimat itu dikirimkannya setelah kami cukup panjang membahas masalah laki-laki, wanita, dan pernikahan. Ia pun berpesan, bahwa menikah bukan semata-mata kebutuhan jasmani, pun bukan sekedar sebuah ketertarikan seorang perempuan terhadap laki-laki karena fisik, rupa, atau atribut-atribut lainnya. Tapi menikah itu karena tanggung jawab kepada kewanitaanmu sendiri. Menikah adalah tanggung jawab kepada pribadi.
Sebenarnya banyak kalimat darinya yang membuatku semakin tersadar, bahwa selama ini aku cukup menciptakan ‘jarak’ antara fitrah keperempuanan dari Tuhan, dengan egoisme diri yang aku kira suara hati. Pengalaman dan jalan hidup yang aku lalui senyatanya cukup mampu membuat aku  terlalu berhati-hati. Terlebih lagi masalah laki-laki. Langkahku yang kuanggap kehati-hatian itu ternyata nyaris menegasikan intuisi. Pantas saja temanku mengatakan: Pengalaman sepahit dan semasam apapun, kamu tetap harus bodoh. Apa susahnya menjadi bodoh? Orang yang bodoh tidak perlu berpikir. Jatuuh ke jurang sepuluh kalipun dia lewati. Namanya juga bodoh? Sekali lagi, “Wanita diciptakan Tuhan: CANTIK dan BODOH. CANTIK agar laki-laki menyukai wanita. Dan, BODOH agar wanita itu menyukai laki-laki.” Beberapa kali ia mengingatkan, pakai hatimu. Jangan terjebak dan keliru antara hati dan otakmu. Hal-hal buruk yang kemaren tidak boleh mempengaruhi jalan kamu kedepan. Maka, menikah adalah tanggung jawab pada pribadi! Berulang kali ia tegaskan lagi.
Cukup banyak pelajaran yang aku terima dari temanku itu. Namun yang membuat aku sedikit terperangah adalah, menjelang akhir perbincangan kami, ia mengungkapkan bahwa jalan hidupku sebenarnya berat juga. Namun ia tak mau jujur mengatakan dari awal, agar aku tidak  pesimis  dulu. Nah…. Hal itu sudah cukup mampu membuka keyakinanku bahwa “wajar jika aku merasakan jalan hidupku cukup berat.”
Tapi, lagi-lagi… aku tidak butuh dikasihani. Aku tetap harus melangkah, apapun yang terjadi. Karena sesungguhnya, kehidupan di dunia ini hanya sebuah permainan, sebuah perjalanan yang akan mengantar kita pada keindahan sejati. Hidup di dunia adalah keadaaan menanti, menanti pertemuan dengan Sang Kekasih Sejati. Maka selaiaknya jika dalam perjalanan di dunia ini kita selalu merasa rindu, senantiasa merinduNya…
Karena, tak ada satu kenikmatan pun yang mampu mengalahkan kenikmatan mengenalNya, dan mengingatNya… Kekasih Sejati; Sang Penguasa Jagad Raya


Baca Selengkapnya ....

Selamat Jalan, Adek kesayangan! Allohummaghfirlahu...

Posted by Lautan Hati Oela Tuesday 26 January 2016 3 comments
Rasa kehilangan bukanlah kali pertama ini kualami. Dalam kurun waktu dua tahun ini, Allah telah mengambil tiga anggota keluargaku secara beruntun. Selain tawakkal, maka yang harus aku lakukan adalah, tetap positif thinking dan husnudhon pada kuasa serta qodarNya. 
Masih teringat jelas dalam memoryku, bagaimana detik-detik kehilangan nenek pada 13 Pebruari 2014 lalu. Dan selang enam bulan kemudian, tepat pada 13 Agustus 2014,` ibuku pun pergi menghadap Ilahi. Belum genap satu setengah tahun, adik satu-satunya dipanggil Allah, tepat pada penghujung tahun; 31 Desember 2015. Maka sekarang, aku hanya bisa pasrah. Dan sungguh, kalimat yang aku berikan padaNya adalah: kini, apa lagi yang akan Kau perbuat padaku? apa lagi yang akan Kau ambil dariku? apa lagi yang akan Kau taqdirkan padaku? Berupa kesedihan, luka, duka, air mata…. maka berupa apapun, aku sudah (harus) siap! Dan, bimbinglah aku untuk tetap ikhlas, Tuhan…
Saat ini, kalimat   yang masih bisa aku tujukan pada sang Kholiq; sungguh, aku sudah tak berdaya, Tuhan. Tak ada satupun, tak ada apa-apa pun yang aku punya. Karena semua hanya milikMu, dan pada akhirnya akan kembali padaMu. Jika sudah sadar akan semua itu, maka aku pun tak lagi mampu mengakui keberadaan diri ini, tak kuasa mengakui kepemilikan, dan kekuatan diri ini. Aku tak ada apa-apanya. Dan aku, bukanlah apa-apa. Semua adalah milikMu, semua kekuasaanMu. Jika semua sudah Kau ambil, maka aku bisa apa…?
Setidaknya hanya deretan  kalimat itu yang mampu aku tujukan padaNya, sang Penguasa Jagad Raya.
Seperti halnya saat aku kehilangan satu-satunya saudara, satu-satunya adik yang aku punya. Semua terjadi begitu cepat. Aku sendiri tak mampu menalarnya dengan logis. Aku tahu, semua akan berpulang pada Yang Maha Kuasa. Tapi terkadang masih muncul rasa ketidakpercayaan; “kenapa begitu cepat adik meninggalkanku?” Sepertinya aku ingin protes padaNya; kenapa harus aku yang mengalami ini? Belum cukupkah Ia ambil nenek dan ibuku secara beruntun, hanya dalam rentang waktu enam bulan itu? Lantas kenapa lagi masih Ia ambil adikku satu-satunya? Tuhan……. Sad smile
Belakangan aku sering menyesali diri, kenapa aku tak pernah peka dari dulu, kenapa aku tak bisa merasakan bahwa adikku sebenarnya sudah merasakan sakit  sejak lama, dan ia hanya menahan serta merasakannya sendiri….
Sejak pertengahan Desember 2015 itu, adik sudah sering tampak sakit. Tapi ia tak pernah mengatakannya, bahkan sepertinya ia tak ingin menunjukkan rasa sakit itu. Sesak nafas tiba-tiba sering ia alami. Dan, aku hanya menanyakan apa yang ia rasa. Adik cuma mengatakan bahwa ia baik-baik saja, hanya sedikit sesak nafas, seperti yang pernah dialami almarhumah ibu dulu. Sempat aku mengajaknya berobat dan periksa, tapi ia menolak dengan alasan bahwa ia masih baik-baik saja, dan akan baik-baik saja.
5 Desember 2015, aku mengantar adik mencari etalase untuk kepentingan tokonya. Ia baru saja menyewa toko untuk mengisi kesibukannya, menjual alat tulis dan pulsa. Keesokan harinya, aku masih menemaninya berbelanja untuk keperluan tokonya. Aku memang sengaja menyempatkan diri menemaninya, dan kebetulan juga disekolahku masih efektif fakultatif, jadi jadwal mengajarku masih kosong. Saat menemani adik belanja, harusnya aku sudah peka, harusnya aku tahu bahwa saat itu adik sudah menahan rasa sakitnya. Bahkan ia masih memaksakan diri untuk beraktivitas, masih menunjukkan padaku bahwa ia kuat melakukan apapun. Saat selesai belanja alat tulis, didepan pusat grosir itu aku menyuruhnya mengangkat sekardus kertas F4, tapi ia terlihat terengah-engah. Tak berapa lama ia kemudian  menundukkan kepala dan mengarahkan pandangannya pada kardus itu. Ia memberi isyarat agar aku saja yang membawa dan mengangkat kardus itu. Dengan sedikit menggerutu dalam hati, akhirnya kuangkat juga kardus itu. Peristiwa itu yang masih aku sesalkan hingga saat ini. Kenapa aku tak cukup peka menyadari bahwa adikku saat itu menahan sakitnya, dan tak mau menunjukkan padaku. Sungguh, aku bersalah Tuhan….. Sad smile
Tiga hari berselang dari peristiwa itu, adik mulai membuka tokonya. Sementara aku tak bisa menemaninya, karena aku masih harus kerja. Hari pertama adik membuka toko, ia pulang hingga sore hari. Sesampainya ia dirumah, aku langsung memburunya dengan beragam pertanyaan, tentang keadaan tokonya, tentang pembeli, situasinya, suasananya, dan lain-lain. Ia hanya menjawab dengan singkat, bahwa ada pembeli tapi masih sedikit. Aku pun hanya bisa menyemangati, dan menghiburnya. “Ya maklumlah, kan baru  pertama”, ucapku. Dengan santai adik menjawab, “iya, santai aja!”
Setelah hari pertama buka toko itu, adik terlihat semakin lemas dan pucat. Tapi ia masih saja melakukan aktivitas seperti biasa, ia masih pulang pergi ke toko dan melakukan kegiatan lain sehari-hari. Tepat pada 19 Desember 2015, ia mengajakku mencari notebok, karena ia berencana akan membuka cetak photo di tokonya itu. Sabtu siang itu, 19 desember 2015, aku bersiap-siap mengantar adik membeli notebok. Agak lama kutunggu dia diruang tengah, rupanya ia masih sholat dzuhur. Aku membiarkan dia sholat sembari kusantap makanan ringan di meja ruang tengah. Cukup lama aku menunggunya. Ternyata adik masih dimushollah keluarga dan sampai tiba waktu ashar, adik menunaikan sholat ashar. Aku masih saja membiarkan dan menunggu dia sampai selesai sholat.  
Usai sholat ashar, adik tiba-tiba duduk di ruang tamu dan terlihat terengah-engah. Kuhampiri dan kutanya kapan akan membeli notebok. Ia menjawab dengan perlahan. Ia bilang kalau masih kurang fit dan memintaku untuk menunggu sebentar. Aku menurut saja. Segera kusuruh ia istirahat dulu, tidur dikamar   sebelah kamarku, kamar yang dulu sering digunakan ibu tidur siang. Sebenarnya kamar itu adalah kamar kosong, kamar untuk tamu kalau-kalau ada keluarga yang datang. Dulu, almarhumah ibu sering memakai kamar itu untuk tidur siang, bahkan saat beliau merasa tak enak badan, kamar itu menjadi tempat favoritnya. Setelah ibu meninggal, kamar itu tak lagi digunakan. Akhirnya, saat adik sakit dan mulai terlihat lemah, aku menyuruhnya tidur dikamar itu. Daripada adik harus naik tangga dan tidur dikamarnya diatas. Sepertinya dikamar itu lebih mudah, lebih nyaman juga, dan aku bisa memantaunya dengan gampang.
Sejak 19 desember itu, keadaan fisik adik sudah bertambah parah, terlihat lemah dan semakin kurus saja. Keesokan harinya, ayah melihat kondisi adik mulai memburuk, akhirnya kami memutuskan untuk memanggil seorang saudara yang juga sebagai petugas kesehatan di puskesmas kelurahan. Mulanya aku minta ayah memanggil dokter untuk memeriksa dan memasangi infus. Tapi entah kenapa ayah lebih memilih untuk memanggil saudara kami yang petugas kesehatan itu. Seminggu lamanya petugas kesehatan itu merawat adik, tiap hari petugas kesehatan itu memantau kondisi adik, menyuntiknya, dan memberi beragam obat yang harus diminum 3 kali sehari. Namun keadaan adik tak juga membaik. Hingga akhirnya, Sabtu 26 Desember 2015 kami memutuskan untuk membawa adik ke rumah sakit.
Saat akan dibawa kerumah sakit, adik sebenarnya meminta di rumah sakit umum RSUD Dr. sholeh, di tempat dulu nenek dirawat. Namun aku punya pertimbangan lain, aku lebih memilih rumah sakit Husada. Karena letaknya lebih dekat dengan rumah, jadi jika aku harus bolak-balik rumah sakit ke rumah dan sebaliknya, itu akan lebih mudah dan tidak memakan waktu lama. Akhirnya adik pasrah saja mengikuti keputusan untuk dibawa kerumah sakit terdekat dari rumah kami itu.
Sehari  dirawat di rumah sakit, adik terlihat mulai membaik dan tidak terlalu pucat lagi. Hari Senin adik mulai terlihat sedikit lebih segar, raut ketenangan ia tampakkan di wajahnya. Namun masih saja adik mengalami sesak nafas. Entah kenapa adik terlihat sangat kesulitan bernafas. Menurut dokter yang memeriksa, adik mengalami infeksi paru-paru. Pengobatannya bisa memakan waktu lama, kuncinya harus sabar dan telaten. Itu menurut diagnosa dokter yang disampaikan padaku. Senin siang, ada saudara sepupu ibu yang menjenguk. Mendengar adik mengidap infeksi paru-paru, ia menyarankan untuk dibawa ke dokter spesialis paru-paru yang tempat prakteknya juga tak jauh dari rumah. Karena berdasarkan pengalamannya sendiri, saudara sepupu ibu itu bisa sembuh dalam jangka waktu enam bulan. Berdasarkan cerita dari sepupu ibu itu akhirnya adik meminta untuk dibawa ke dokter tersebut, namanya Dokter Supriyadi. Keesokan harinya, aku sempat berdiskusi dengan paman, adik sulung ibu. Aku utarakan keinginan adik untuk segera pulang dan dibawa ke dokter Supriyadi. Paman langsung saja menyetujui. Menurutnya, apapun yang diinginkan adik sebaiknya kita turuti saja, pasti akan berdampak baik bagi adik sendiri. Akhirnya aku menjanjikan ke adik bahwa aku akan mencari informasi ke tempat praktik Dokter Supriyadi.
Selasa, 29 Dessember 2015 kira-kira jam 9 malam, ada seorang dokter bedah yang tiba-tiba masuk ke ruangan adik dirawat. Ia memeriksa adikku sebentar dan kemudian keluar. Tak berapa lama, dokter bedah yang belakangan aku ketahui namanya Dokter Abrar itu memanggil pihak keluarga pasien. Aku dan ayah pergi menemuinya. Diruang perawat, dokter Abrar menjelaskan bahwa ada kelainan pada paru-paru adikku. Menurutnya, ada udara yang terjebak di paru-paru adik. Udara itulah yang selama ini menyebabkan adik kesulitan bernafas. Maka udara itu harus dikeluarkan. Caranya, dengan menggunakan alat yang dipasang  dibadan adik, dipasang melalui pinggangnya. Aku sendiri lupa nama alat itu apa. Saat dokter itu menjelaskan, aku hanya fokus pada mekanisme pemasangan alat dan keberhasilan tindakan itu. Alat itu dipasang dengan cara membedah pinggang adik terlebih dahulu, lantas alat itu baru bisa dipasang dibadan adik kemudian alat itu baru bisa bekerja sesuai fungsinya, mengeluarkan udara yang terjebak dalam paru-paru adikku.
Aku menanyakan risiko jika alat itu dipasang. Ternyata risiko terberatnya adalah kematian, namun jika tidak dipasang maka udara akan semakin bertambah di paru-paru adik, dan akan  semakin menambah kesulitan adik untuk bernafas. Ketika kutanya prosentase keberhasilan tindakan tersebut, dokter bedah itu tidak bisa memastikan. Bahkan ia juga tak bisa memberi sedikit gambaran. Lalu kutanya berapa lama alat itu harus dipasang dibadan adik. Lagi-lagi, sang dokter juga tidak bisa memberi kepastian. Dalam hati aku sudah tidak setuju dengan tindakan tersebut, aku menjadi sangat tak tega jika adik harus menanggung rasa sakit karena alat-alat medis harus melekat dibadannya. Bagaimana tidak, saat melihat adik disuntik diberbagai bagian tubuhnya hanya untuk mengambil sample darahnya saja, aku sudah menangis tak tertahan. Apalagi harus dipasang alat medis yang mengharuskan membedah bagian tubuh adik, aku sangat sakit dan berat hati.
Segera kutanyakan solusi lain atas penyakit yang diderita adikku. Dokter bedah itu mengatakan bahwa tak ada lagi solusi lain. Dan ia hanya memberi waktu dua jam bagi aku dan keluarga untuk berpikir. Dua jam kedepan, aku harus menyampaikan  keputusan, setuju atau tidak dengan tindakan yang ditawarkan dokter itu. Durasi waktu dua jam  diberikan karena dokter itu akan segera ada acara lain diluar kota. Sehingga menurutnya, jika aku sudah memberikan keputussan, maka akan segera dilakukan tindakan itu. Aku segera merundingkannya dengan adik-adik ibu yang laki-laki. Malam itu, ada tiga adik laki-laki ibu yang menemaniku. Ketiga pamanku itu menanyakan tentang pendapatku, secara pribadi aku setuju atau tidak. Segera saja aku jawab kalau aku keberatan dengan tindakan itu. Menurut salah satu pamanku, kalau si dokter tak bisa memberikan gambaran dan prosentase keberhasilan tindakan tersebut, berarti hal itu masih meragukan . Hal yang paling ditakuti pamanku adalah; takutnya tindakan itu malah menjadi semacam percobaan, malpraktik, dan banyak kekhawatiran-kekhawatiran lainnya juga. Intinya, pamanku juga masih keberatan dengan pemasangan alat yang  harus membedah badan adikku.
Waktu terus berjalan. Dua jam pun berlalu dari penyampaian dokter bedah tadi. Tibalah saatnya aku untuk memberi dan menyampaikan keputusanku. Maka dengan keberserahan pada kuasaNya, aku menolak usulan tindakan dari dokter Abrar untuk membedah dan memasang alat medis ditubuh adikku. Meski tindakan tersebut dinilai mampu mengatasi kesulitan adik untuk bernafas, namun sang dokter masih belum bisa memastikan tentang prosentase keberhasilan tindakan tersebut. Setidaknya, dokter harusnya bisa menggambarkan bagaimana ketika alat itu dipasang, reaksi dan operasional alat itu ditubuh adik, mekanisme kerja alat tersebut dan bahkan kemungkinan keberhasilan atau tidaknya tindakan itu. Karena tak bisa kudapatkan sedikitpun jawaban tentang berbagai hal tersebut, maka aku memutuskan untuk menolak dilakukannya tindakan pemasangan alat medis itu. Aku hanya mengandalkan doa tulusku pada Allah. Aku yakin bahwa “ Laa syifa’a illa syifa’uka… “   Beribu-ribu kali doa itu kupanjatkan. Tak henti-hentinya mulut dan hatiku merapal doa, memohon kesembuhan dan kesehatan untuk adikku, adik satu-satunya yang kupunya.
Beberapa menit berlalu dari ketegangan penyampaian keputusanku itu, tiba-tiba adik mengalami sesak nafas yang sangat parah. Adik terlihat sangat kesulitan untuk bernafas. Ia bernafas dengan terengah-engah. Pamanku panik dan kami pun  segera memanggil perawat. Tak lama kemudian perawat datang dan memeriksa kondisi adik, setelah itu si perawat memanggil dokter. Beberapa saat kemudian dokter mengharuskan adik memakai oksigen dengan ukuran yang besar. Bantuan nafas oksigen yang selama ini digunakan sudah tak cukup mampu mensuplay ketersediaan oksigen ke seluruh tubuh adikku. Saat dicoba memasang alat bantu oksigen dengan masker yang besar itu, adik terlihat tak nyaman. Ia mengeluhkan keadaannya jika memakai alat itu, ia meronta dan memaksa untuk melepas alat itu dari hidung dan mulutnya. Aku semakin tak tega melihatnya. Segera kuminta perawat untuk melepasnya sebentar saja. Perawat itu menuruti saja permintaanku. Namun adik semakin terlihat terengah-engah dan sangat kesulitan bernafas. Akhirnya perawat memberi penjelasan panjang lebar padaku, bahwa adikku harus menggunakan bantuan oksigen dengan masker yang besar, entah apa namanya. Aku sudah lupa.
Beberapa saat kemudian, perawat memberitahukan bahwa adik harus dibawa ke UGD sebentar, perawat dan dokter jaga malam itu akan membuktikan bahwa sebenarnya adik sangat membutuhkan pemakaian oksigen dengan masker besar itu. Di UGD, adik dipakaikan oksigen dengan masker besar yang dihubungkan dengan alat deteksi masuknya oksigen dalam tubuh. Dengan masker besar itu, oksigen dapat masuk 99 % ke seluruh tubuh. Kemudian perawat membandingkan dengan pemakaian oksigen dengan masker biasa, yang sudah dipakai adik selama ini. Dengan pemakaian oksigen yang biasa itu, masuk dan suply oksigen ke seluruh tubuh hanya mencapai 58 %. Itu artinya, dengan menggunakan oksigen yang biasa itu, oksigen tidak mampu memenuhi seluruh tubuh adik, termasuk kedalam otaknya. Namun jika menggunakan oksigen dengan masker yang besar itu, ketersediaan oksigen mampu mencukupi seluruh tubuhnya. Panjang lebar perawat dan dokter jaga menjelasakan lagi padaku. Akhirnya, perlahan aku membujuk adik agar mau dipasang oksigen yang besar itu. Tapi ia masih menolak dengan alasan tidak nyaman dan terasa sakit dihidung serta mulutnya. Mati-matian aku dan pamanku membujuk adik, namun ia masih kekeh menolak rayuan kami. Akhirnya dengan memaksa, perawat memasangkan  oksigen besar itu kemudian adik dibawa kembali ke kamarnya. Dikamar, adik masih dipakaikan oksigen besar itu. Ia ditemani adik sulung ibu. Sementara aku masih berbincang dengan pamanku yang lain diluar. Sebentar kemudian, pamanku yang didalam memberitahukan kalau adik muntah mengeluarkan banyak dahak, dan oksigen masker besar itu terlepas. Pamanku yang didalam terlihat tak tega melihat adik memakai alat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk memanggil perawat dan melepas alat oksigen besar itu kemudian mengganti dengan oksigen kecil yang biasa dipakai adik sebelumnya. Perawat kembali menanyakan tentang keyakinanku, si perawat masih saja menjelaskan bahwa adikku sangat membutuhkan penggunaan oksigen besar itu. Aku sebenarnya menyetujui usulan perawat, tapi adikku sendiri terlihat tidak nyaman menggunakannya, dan ia merasa tersiksa dengan alat itu. Akhirnya perawat menuruti permintaanku. Adik kembali menggunakan oksigen yang biasa dipakai sebelumnya, dan ia terlihat sedikit lebih tenang. Untuk sementara, kubiarkan ia istirahat dan memejamkan matanya. Semoga besuk pagi kondisinya bisa lebih baik, harapku.
Rabu pagi, 30 Desember 2015 aku bersama pamanku pergi ke tempat praktik Dr. Supriyadi, dokter spesialis paru-paru. Dokter itu hanya membuka praktiknya di pagi jam 06.30-07.00 dan sore jam 17.00-20.00. Karena takut banyak pasien yang datang, aku dan paman memutuskan untuk kesana pagi hari. Sesampainya disana, kami mendapati tempat praktik dokter itu masih sepi. Artinya, kami tak perlu menunggu antrean. Segera saja aku mendaftar dan berkonsultasi. Dokter spesialis itu meminta kami membawa hasil rontgen dan sekaligus si pasien, adikku. Ia bersedia memeriksa meskipun pasien tidak bisa turun dan masuk ketempat praktik. Dokter itu mau memeriksa jika memang kondisi pasien tidak memungkinkan turun dari mobil. Begitu penjelasan yang kami terima.
Setelah konsultasi itu, segera kusampaikan pada adik. Adik menyambutnya dengan antusias dan ia ingin segera ke dokter Supriyadi. Katanya ia sudah tak tahan lagi berada di rumah sakit. Tapi jika nantinya dokter Supriyadi menyarankan rawat inap, adik lebih memilih di RSUD dr. moh saleh. Lagi-lagi ia mengutarakan kalau ingin ditempat almarhumah nenek dulu dirawat. Aku hanya mengiyakan saja. Aku dan paman kembali memberinya semangat, mensupport dia semaksimal mungkin. Kami hanya ingin yang terbaik buat adik. Mendengar suntikan semangat dari kami, adik terlihat sumringah. Ia menampakkan semangat dan keinginan untuk sembuh yang tinggi. Dalam perbincangan kami bertiga, akhirnya kami memutuskan untuk membawa adik pulang besuk sore dan segera menuju tempat praktik dokter supriyadi. Adik sepakat dengan hal itu. Kembali ia menampakkan senyumnya, dan hal itu membuatku senang. Setelah perbincangan itu, adik tiba-tiba mengutarakan keinginannya makan pisang. Jenis pisang marlyn yang dimintanya. Akhirnya pamanku bergegas pergi mencari dan membelikan pisang yang diinginkan adik. Kurang lebih setengah jam paman pergi membeli pisang. Setelah dapat, aku buru-buru memberikannya pada adik. Kusuapinya sedikit demi sedikit. Namun tak sampai habis satu buah, adik sudah tak mau lagi. Akhirnya ia minta minum dan ingin segera tidur. Aku membiarkannya beristirahat.
Tak lama adikku tertidur. tiba-tiba ia bangun dan mengeluhkan sakit didadanya, ia sesak nafas dan terlihat sangat gelisah. Saat itu hanya ada aku dan ayah disampingnya. Pamanku masih harus pulang kerumahnya. Adik terlihat menahan kesakitan. Aku dan ayah semakin bingung. Kutanyakan brangkali kadar oksigennya kurang besar. Adik menggangguk pelan. Segera kuputar tombol ditabung oksigen itu. Sampai adik merasakan cukup dan nyaman, aku kembali mendekatinya. Adik masih saja terlihat gelisah dan menahan sakit. Tiba-tiba ia menarik tanganku, memintaku untuk memegang tab yang biasa kubawa, dan menyuruhku untuk membacakan ayat-ayat alqur’an di tabletku itu. Selama adik dirawat di rumah sakit, aku memang tak sempat membawa alqu’an atau sekedar bacaan surah yasin. Aku hanya membawa tab yang sudah terinstal Alqur’an. Setiap pagi setelah adik diperiksa dokter dan mendapat obat suntik, aku sengaja membacakan beberapa surah didekatnya. Kuyakin, Al qur’an yang berfungsi sebagai obat itu setidaknya akan memberikan efek ketenangan bagi adik, dan bagiku juga tentunya. Maka saat adik merasa sakit dan terlihat sangat gelisah dengan kondisinya sendiri itu, ia memintaku untuk membacakan Alqur’an lagi untuknya. Tanpa menunggu lama, aku segera mengambil tab dan membacakan surah Ar Ro’du, Al Mulk, dan Yaasiin untuknya. Mendengar bacaan itu, adik tampak sedikit tenang. Tak lagi gelisah seperti tadi. Meskipun ia masih saja terlihat menahan rasa sakitnya. Tak apalah, setidaknya adik sudah tidak kebingungan karena sakitnya. Perlahan ia mulai bisa menenangkan diri dan beristirahat lagi.
Masih dihari yang sama, siang itu adik mengatakan ingin makan nasi rawon. Aku menjanjikan akan membelikannya nanti sore. Karena saat itu aku hanya ditemani dua sepupuku yang masih keci-kecil. Jadi tak mungkin aku meninggalkan adik bersama mereka. Aku masih menunggu paman dan bibiku, yang bisa membelikan rawon buat adik. Sore harinya, tanpa sepengetahuanku ternyata bibiku  membelikan rawon buat adik. Bersama sepupuku, bibi menyuapi adik nasi rawon. Sementara aku dan paman pergi ke doter supriyadi untuk membawakan hasil rontgen milik adik. Dokter supriyadi mengatakan kalau flek di paru-paru adik sudah banyak menyebar dan parah. ia menawarkan solusi pengobatan paru-paru enam bulan. Kami segera menerimanya, dan akan kembali dengan membawa adik besuk sore.
Saat kembali ke rumah sakit, aku mendekati adikku lagi. Kujelaskan bahwa besuk kita akan pulang dan segera ke tempat paktik dokter spesialis paru itu. Kutanyakan bagaimana keadaannya, perasaannya, dan apa keluhannya. Ia mengatakan baik-baik saja, meskipun masih tampak sesak nafas. Begitulah adikku, dia selalu saja tak pernah mengeluhkan keadaannya. Ia selalu tak mau membuatku khawatir. Memang sudah jadi prinsipnya, bahwa ia merasa tak suka membuat orang lain khawatir, apalagi mengkhawatirkan keadaannya. Bahkan dia merasa lebih baik membantu daripada dibantu. Maka kalimat yang selalu saja ia berikanp padaku tiap kali aku menanyakan kondisinya, bahwa ia baik-baik saja dan akan baik-baik saja.
Setelah mengatakan baik-baik saja, adik memberitahuku bahwa ia sudah makan rawon. Aku yang masih bingung karena aku belum membelikannya, kujawab saja bahwa aku akan membelikannya sebentar lagi. Tapi ia menjelaskan lagi bahwa ia sudah dibelikan dan sudah memakannya. Dalam hati aku ragu, aku bertanya-tanya, jangan-jangan adik mulai bicara yang melantur dan sudah tak logis lagi. Akhirnya aku hanya mengiyakan saja. Kembali kulihat ia terdiam setelah aku berusaha mempercayai ucapannya itu.
Tak seberapa lama sepupuku menjelaskan bahwa barusan saja ia bersama bibi membelikan rawon, dan menyuapi adik sampai tiga sendok. Alhamdulillah, seruku dalam hati. Ternyata adik menyampaikan kebenaran bahwa ia sudah makan rawon. Kekhawatiranku yang tadinya menganggap adik mengada-ada itu akhirnya sirna. Berarti adik masih sadar sepenuhnya. Jujur saat adik sakit dan sering terlihat gelisah ketika dirawat di rumah sakit, aku merasa takut kalau-kalau adik bicara yang mengada-ada dan hilang kesadaran, mengomel tak ada arah, dan menggerutu hal-hal yang tidak-tidak. Begitu yang biasa kulihat dari orang yang sedang sakit. Tapi ternyata adikku tidak seperti itu. Ia masih sadar sepenuhnya, ia masih mengerti dan memahami setiap detail peristiwa yang terjadi disekelilingnya saat itu. Bahkan ia tak pernah menggerutu tak jelas, tak pernah mengerang kesakitan, atau bahkan menjerit karena sakit. Itu yang sampai saat ini kukagumi dari adikku. Seberapa parahpun ia mengalami kesakitan, tak pernah sekalipun ia mengerang atau bahkan menjerit. Hal yang paling sulit aku teladani darinya.
Adzan maghrib berkumandang. Adik masih terlihat tenang, sembari kulihat mulutnya mengatup dan sebentar kemudian terbuka, tanda bahwa ia masih sulit bernafas. Sesekali kudengar ia merapal lafal istighfar. “Tuhan, mohon angkatlah penyakit adikku…!” jeritku dalam hati. Sejenak berlalu, adikku tiba-tiba meminta susu dingin. Segera kuambilkan susu dari kulkas. Sebelum kuberikan, bibi sempat khawatir kalau-kalau adik tak boleh minum susu dingin. Tapi aku tak peduli, apapun yang adik minta akan kuberikan. Saat itu aku hanya ingin melihat adik senang, bisa mendapatkan keinginannya. Meskipun ia masih dalam keadaan sakit. Akhirnya tetap kutuntun adik minum susu dingin itu. Cukup banyak ia meneguk. Dan beberapa menit kemudian, ia meminta lagi. Tentu saja kuturuti keinginannya itu.
Hari semakin malam. Kutawari adik makan. Mungkin saja ia merasa lapar tapi enggan bilang, pikirku dalam hati. Alhamdulilah, ia meminta roti. Segera saja kuambilkan roti rasa coklat favoritnya, dan kusuapi sedikit demi sedikit. Tak banyak adik memakan roti kesukaannya itu. Sangat berbeda dengan saat ia masih segar bugar dan fit. Biasanya ia sangat lahap jika makan, apalagi makananan favoritnya. Tapi malam itu, adik hanya mau makan roti sedikit saja, dan minum susu. Semalaman itu ia berkali-kali meminta susu dingin. Dan aku tentu saja  bersedia memenuhinya. Bagiku, dengan melihat adik tenang dan  bahagia mendapatkan apa yang ia inginkan, adalah sebuah kegembiraan yang luar biasa. Karena tak ada yang lebih membahagiakan hati, selain melihat orang yang kita sayangi bahagia.
Selain  sering meminta susu dingin semalaman itu, adik juga sering batuk dan mengeluarkan dahak. Padahal sejak masuk rumah sakit, adik sudah jarang sekali batuk-batuk seperti saat di rumah. Entah kenapa malam itu adik menjadi sering batuk, dengan jeda waktu yang kerap, dan intensitas yang tinggi. Rasanya jarak dari batuk yang pertama dengan batuk berikutnya itu hanya terpaut sepuluh menitan saja. Jadi tiap sepuluh menit berlalu, adik pasti batuk lagi, dan mengeluarkan dahak lagi. Karena badannya lemah dan tak kuat bergerak miring hanya untuk mengeluarkan dahak, akhirnya aku menyediakan gelas kecil untuk mengambil dahak dari mulutnya itu. Sengaja kubiarkan adik untuk tidak banyak bergerak, bahkan untuk sekedar membuang dahaknya.  Aku sendiri yang menadahkan dahak dimulutnya. Kudekatkan gelas plastik bekas air mineral kemulutnya, lalu pelan-pelan kutadahkan dahak dari mulutnya itu. Setelah itu aku usapkan tisu disekeliling mulutnya, kalau-kalau ada sisa air atau dahak yang tersisa dan menempel dipinggir mulutnya. Setiap kali aku menadahkan dahaknya, adik terlihat lemas dan sepertinya sungkan. Mungkin ia merasa tak enak hati karena telah merepotkanku. Selama ini ia tak pernah merepotkanku, bahkan aku yang selalu saja merepotkannya. Begitulah adikku, ia lebih suka membantu daripada harus dibantu.
Tapi sejak adikku sakit, aku jadi merasa sangat ingin selalu berada disampingnya, dan memenuhi apa saja yang ia inginkan. Bahkan ketika di rumh sakit, aku sengaja tak pernah meninggalkannya, kecuali untuk pulang sebentar karena harus mandi dan menghidupkan serta mematikan lampu rumah. Aku memang tak ingin meninggalkan adik di rumah sakit lama-lama. Karena aku harus tahu bagaimana keadaan serta perkembangan adikku setiap detiknya. Bukan berarti aku tidak percaya pada ayah, paman, atau bibiku yang menjaga adik saat dirumah sakit. Tapi entah kenapa aku merasa harus berada didekatnya. Aku tak ingin jauh-jauh darinya saat ia sakit. Dan aku merasa harus tahu keadaannya, harus tahu apa yang dirasakannya setiap detik.
Kamis pagi, 31 Desember 2015. Jarum dijam tanganku menunjuk pada angka enam. Aku berniat untuk pulang sebentar, sekedar mandi, mematikan lampu rumah, dan membawakan baju ganti untuk adik. Saat aku sudah bersiap-siap keluar dan hendak membuka pintu, terlebih dulu kusempatkan diri memegang kening adik dan berpamitan padanya. Tiba-tiba kurasakan keningnya panas. Segera kuperiksa bagian lengan dan badannya, seluruh badannya juga panas. Aku panik karena tak biasanya adik panas. Kemarin keadaannya sudah membaik, suhu badan dan tekanann darahnya normal. Mengetahui hal itu, ayah lantas menyuruhku  mengurungkan niat untuk pulang. Aku sepakat. Lalu kupanggil perawat untuk memeriksa keadaan adik.  Perawat itu menyampaikan bahwa suhu badan adik naik, panasnya tinggi hingga 39o sementara tensinya 90/60. Tentu saja aku semakin panik. Karena kemarin dan semalam keadaannya sudah membaik dan normal.
Sebentar kemudian perawat memanggil dokter jaga. Tak seberapa lama, dokter perempuan yang bertugas jaga pada pagi itu masuk ruangan dan memeriksa keadaan adik. Tak lama si dokter terlihat sibuk dengan tubuh adikku yang terlihat semakin lemas. Badannya masih panas, sementara tensinya tetap rendah. Dokter kemudian keluar ruangan, entah apa yang akan ia lakukan. Aku sudah tak peduli lagi.Yang aku lakukan segera menghubungi semua paman dan bibiku via telepon. Satu persatu mereka kuhubungi, dan  kuminta datang segera ke rumah sakit.
Aku benar-benar panik. Sangat panik. Kupegangi tangan kanan adik. Sementara jemari kiriku mengusap keningnya. Ayah berada disisi kiri adik. Kudengar ayah perlahan menuntun adik membaca syahadat. Saat itu paman dan bibiku mulai berdatangan. Dokter jaga kemudian masuk ruangan lagi. Ia  memeriksa keadaan adikku lagi. Sementara adik masih saja terlihat terengah-engah. Kami semua panik. Dokter perempuan itu kemudian menyarankan  supaya tidak terlalu banyak orang yang berada di dalam kamar. Akhirnya beberapa saudara sepupuku keluar. Mereka duduk di kursi depan kamar. Sementara aku, ayah, paman, dan bibi tetap berada didalam. Setelah memeriksa adik untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba dokter jaga itu mengatakan dengan perlahan; “keluarganya membisik ditelinga adik saja”. Kalimat dokter itu semakin membuatku panik tak terkira. Setelah itu, ayah tiba-tiba menatap adik, memegang keningnya seraya berujar; “ayah ikhlas, Nak.” Hanya kalimat itu yang berulang kali ayah lontarkan. Sementara aku, masih memegangi tangan adik dan merasa tak terima dengan ucapan ayah. Segera kubentak ayah. Saat itu, aku masih berpikir bahwa adik akan baik-baik saja. Dia akan sehat dan pulih seperti biasanya. Dia akan selalu bersamaku, menemaniku, dan menjagaku. Seperti yang sudah biasa ia lakukan selama ini.
Ayah meminta aku agar mengikhlaskan adik. Aku tak percaya kalau saat itu adik sudah naza’…  Aku masih berharap bahwa adik  baik-baik saja, dan akan baik-baik saja. Aku masih selalu merapal doa pada Allah, aku masih sangat yakin bahwa “Laa syifaa’a illa syifa’uka…” Berulang kali aku memohon padaNya: Isyfi akhi… Yaa Robb! Tapi ayah masih saja membujukku untuk mengikhlaskan adik.
Semakin lama adik terlihat semakin terengah-engah, semakin kelihatan susah bernafas. Ayah kembali membisikkan kalimat tauhid di telinga kiri adik. Tak ada respon dari adik selain kedipan matanya. Segera kudekatkan mulutku ke telinga kanannya. Kubisikkan lafal “Allaah”…  Perlahan-lahan dan sayup kudengar adik menirukan. Ia ucapkan lafal “Allaah” dengan terengah-engah. Kuulangi lagi, dan adik juga menirukanku lagi. Kutuntun sekali lagi, adik masih saja menirukanku. Dalam hati, aku masih yakin dan berharap bahwa akan ada keajaiban, adikku akan pulih kembali. Tapi kenyatan berkata lain. Adik semakin terlihat susah untuk bernafas. Paman dan bibi mulai mendekat dan memegang tangan adik. Perlahan kuucapkan kalimat yang biasa kuberikan agar adik bisa semangat untuk sehat. Aku masih saja mencoba menyemangatinya. Tapi tiba-tiba adik memandangku. Tatapan matanya tertuju padaku, sayu. Sesaat kemudian air matanya mengalir deras. Seumur hidupku, tak pernah kulihat adik mengeluarkan air mata, bahkan saat nenek atau ibu meninggal. Tapi saat itu, disaaat naza’nya, air mata adik kulihat deras mengalir. Sementara tatapan matanya masih mengarah padaku. Karena tak tahan melihat air mata adik mengalir, segera kuseret lengan bibiku. Kuberitahukan  bahwa adik menangis. Bibiku pun tak kuasa menahan tangisnya. Ia ambil tisu dan menyuruhku menyeka air mata adik. Aku benar-benar hancur, remuk, dan tak ada lagi semangat hidup. Tiba-tiba aku limbung, badanku terasa lemas dan tak berdaya. Mataku terasa berkunang-kunang, kepalaku seperti berputar-putar. Melihat keadaanku, bibi segera meraih kursi dibelakangnya. Dituntunnya tubuhku untuk duduk di kursi. Aku menurut saja. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Paman kemudian mendekat disisi kanan adik, menggantikan posisiku yang tadi. Paman menyebutkan namanya di telinga adik. Sepertinya paman ingin menguji kesadaran adik. Mendengar paman menyebutkan namanya, adik menganggukkan kepala. Selang beberapa detik kemudian, bibiku menunjukkan diri. Ia juga menyebutkan siapa dirinya di dekat adik. Lagi-lagi, adik menganggukkan kepala. Hal itu setidaknya menunjukan bahwa adik masih sadar sepenuhnya. Sementara pamanku yang lain membacakan surah yaasiin. Aku hanya duduk lemas di kursi, di sebelah kanan kaki adikku. Sebentar kemudian paman memintaku untuk mengiklhaskan adik pergi. Aku tak menjawab. Aku hanya diam. Dalam hati, aku masih sangat berharap adik akan kembali sehat.
Karena tak ada jawaban dariku, akhirnya paman mulai membentak dan kembali mengeluarkan perintah agar aku bisa ihklaskan adik. Saat itu aku juga melihat pamanku meneteskan air matanya. Aku masih lemas. Perlahan-lahan kuanggukkan kepala.  Seketika itu, setelah kuanggukkan kepalaku dengan pelan dan ragu, mata adik mulai terpejam perlahan. Baru kusadari, adik tak lagi membuka matanya kembali. Ia terpejam untuk selamanya. Hatiku memekik, jeritanku tertahan. Ingin kupanggil adikku keras-keras, tapi suaraku tak keluar, sama sekali. Ingin rasanya kuhentak tubuhnya, ingin kubangunkan ia. Dan masih ingin kutagih janjinya; yang katanya akan menemaniku, akan menjagaku, seperti yang sudah ia janjikan dulu pada ibu dan ayah. Seperti yang telah ia lakukan selama ini. Tapi aku sadar sepenuhnya, bahwa adikku telah tiada. Ia pergi menghadap sang Kholiq. Rasanya masih tak percaya, begitu  cepat Tuhan memanggil adikku, Ia mengambil adikku kembali. Bahkan dengan jarak waktu yang tidak lama dari kepergian ibu.
Tuhan… Rasanya luka ditinggal ibu dan nenek dulu masih belum pulih benar. Sekarang malah Engkau ambil adikku kembali. Aku benar-benar kehilangan. Sosok yang selama ini menghiburku, menjagaku, mengantarku kemanapun. Bahkan yang selalu mau mendengar cerita dan keluhku. Seringkali aku meluapkan amarahku padanya, terlebih ketika aku sudah merasa lelah, karena pekerjaan atau hanya karena keadaan rumah yang berantakan. Tapi ia selalu diam menerima setiap aku marah. Tak pernah sekalipun ia membantah, menyanggah, atau melawan. Ia selalu terdiam, membiarkan aku mengeluarkan semua emosiku. Terkadang, aku menyesal karena kerap emosi dan meluapkan amarah. Padahal janjiku dalam hati, aku tak akan marah walau apapun yang dilakukan adik. Seperti  sikap ibu selama hidupnya. Ibu tak pernah marah atas apa yang dilakukan adik, apapun. Sebenarnya aku sudah berjanji dalam hatiku sendiri, aku akan berlaku seperti ibu. Tak akan marah atas apapun yang dilakukan adik. Tapi belum sempat aku wujudkan janjiku itu, adik sudah lebih dulu meninggalkanku. Tuhan sudah memanggilnya lebih dulu. Bahkan sebelum aku mampu membahagiakannya. Tuhan… ampuni aku!
Maka setelah adikku menutup mata selamanya, aku sudah tak bisa lagi melakukan apapun untuknya. Hanya doa yang bisa kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa, Sang Pemilik Segalanya.
Tuhan… mohon bahagiakan adikku, muliakan ia, tempatkan ia di tempat terindah di sisiMu. Berikan kebebasan ia untuk bertemu dan melayani nabiMu, Muhammad SAW. Sebagaimana kecintaannya pada Rasulullah yang ia tunjukkan semasa hidupnya didunia. Maka biarkan ia bercengkrama dengan mesra bersama RasulMu kini di alamnya …..
Aamiin

Selamat jalan, adek kesayangan….
Allohummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu ‘anhu

Baca Selengkapnya ....
Cara Buat Email Di Google | Copyright of Lautan Hati Oela.